POSKOTA.CO.ID - Dalam beberapa tahun terakhir, pinjaman online atau pinjol menjadi solusi instan bagi masyarakat yang membutuhkan dana cepat.
Namun, kemudahan ini justru membawa masalah besar di Indonesia, seperti bunga tinggi, intimidasi dalam penagihan, hingga penyalahgunaan data pribadi.
Hal ini membuat banyak pihak mempertanyakan: apakah pinjol benar-benar solusi atau hanya jebakan baru?
Baca Juga: 4 Fitur yang Harus Dimatikan Setelah Galbay Pindar, Cek Info Lengkapnnya
Untuk memperbaiki citra buruk tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini mengganti istilah pinjol menjadi pindar (pinjaman daring).
Langkah ini bertujuan untuk mempermudah masyarakat membedakan layanan legal dan ilegal, sekaligus memberikan rasa aman.
Namun, muncul pertanyaan besar: apakah perubahan istilah ini cukup untuk menyelesaikan akar masalah, atau hanya perubahan kosmetik tanpa dampak nyata?
Apakah Pindar Hanya Nama Baru untuk Masalah Lama?
Baca Juga: Siapkan KTP Anda! Ini Syarat Daftar Pindar Akulaku agar Cepat Cair
Dikutip dari YouTube Ade Waskita pada Minggu, 27 April 2025, mengganti nama menjadi pindar mungkin memudahkan edukator keuangan dalam menyampaikan literasi keuangan.
Namun, tanpa perubahan fundamental pada praktik bisnis, industri ini tetap akan beroperasi secara eksploitatif.
Ade Waslkita berpendapat bahwa, mau disebut pinjol atau pindar, jika model bisnisnya masih menyasar masyarakat yang mengalami kesulitan keuangan tanpa solusi berkelanjutan, kredit macet tetap akan terjadi.
Bahkan, lanjutnya, fenomena ini bisa dianalogikan dengan prinsip sederhana: banyak orang enggan meminjamkan uang kepada teman atau keluarga karena berisiko menimbulkan masalah.
Target pasar pinjol, yang kini berubah disebut pindar, adalah masyarakat rentan yang membutuhkan dana cepat.
Di balik klaim inklusi keuangan, realitanya banyak masyarakat yang justru terjebak dalam siklus utang tanpa akhir, disertai metode penagihan yang intimidatif dan kekerasan.
Fenomena Krisis P2P Lending: Belajar dari Kasus di Tiongkok
Ade mengatakan bahwa kita bisa belajar dari fenomena P2P lending di Tiongkok. Pada 2014-2015, industri ini tumbuh pesat, tetapi runtuh pada 2019 akibat gagal bayar massal.
Ribuan perusahaan bangkrut, dan pemerintah Tiongkok akhirnya menerapkan regulasi yang sangat ketat untuk menahan keruntuhan industri.
Kini, Indonesia menghadapi ancaman serupa. Contohnya, Investree, salah satu platform P2P lending terbesar, kini menghadapi masalah pemenuhan modal minimum dan indikasi fraud. Platform lain, Tanifund, bahkan mencatat kredit macet lebih dari 60 persen.
Risiko Inheren di Industri Pindar
Menggunakan pendekatan manajemen risiko ISO 31000, setidaknya ada lima risiko utama dalam bisnis pinjol atau pindar:
1. Risiko Kredit
Gagal bayar akibat ketidakmampuan keuangan nasabah serta praktik gali lubang tutup lubang.
2. Risiko Operasional
Penyelewengan dana oleh penyedia platform.
3. Risiko Reputasi
Hilangnya kepercayaan masyarakat akibat praktik penagihan yang intimidatif.
4. Risiko Hukum
Regulasi yang lemah membuka celah hukum bagi pelaku bisnis.
5. Risiko Sistemik
Kegagalan massal platform yang dapat mempengaruhi stabilitas sektor keuangan nasional.
Langkah Mitigasi OJK: Cukupkah?
OJK telah menerapkan beberapa langkah mitigasi seperti:
• Persyaratan modal minimum.
• Perlindungan data nasabah.
• Legalitas platform.
Namun, tantangan besar tetap ada, seperti:
• Penilaian Kredit yang Lemah
Belum jelas apakah platform benar-benar menerapkan credit scoring yang memadai.
• Pengawasan Lemah
Minimnya pengawasan intensif terhadap penyalahgunaan dana dan pelanggaran etika penagihan.
• Edukasi Publik yang Kurang
Iklan pinjol justru mendorong konsumtifisme, bukan literasi keuangan yang sehat.
Menurut Ade, perubahan nama dari pinjol ke pindar berpotensi menciptakan persepsi keamanan palsu. Nama baru ini seolah-olah menjamin layanan lebih aman dan terpercaya, padahal praktik-praktik seperti bunga tinggi 0,1 persen – 0,3 persen per hari, analisis kredit minim, dan penagihan agresif masih berlangsung.
Transformasi ini bisa menjadi perpanjangan dari sistem rusak yang sudah ada. Akibatnya, masyarakat tetap berisiko terjebak dalam siklus utang yang sama.
Rekomendasi Solusi: Lebih dari Sekadar Ganti Nama
Sebagai praktisi manajemen risiko, berikut beberapa rekomendasi untuk membenahi industri ini:
1. Hentikan Praktik Eksploitatif
Tekan suku bunga, larang penagihan intimidatif, dan lindungi kelompok rentan.
2. Reformasi Struktural
Terapkan pengawasan real-time dan pembatasan bunga efektif tahunan.
3. Evaluasi Keberlanjutan Industri
Jika perbaikan tidak dapat dilakukan, industri ini sebaiknya dihentikan atau diintegrasikan dengan perbankan tradisional yang memiliki sistem manajemen risiko lebih kuat.
Teknologi digital yang menjadi kekuatan industri ini dapat dialihkan untuk memperkuat sistem perbankan, dengan tujuan utama melindungi masyarakat dan membangun inklusi keuangan yang bertanggung jawab.