Jejak perjalanan asmara dan pernikahannya, termasuk pernikahan dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946 yang kemudian berakhir karena masalah ekonomi, turut memberi warna dalam perjalanan hidup sang penyair.
A. Teeuw, seorang sarjana sastra dari Belanda, mencatat bahwa melalui puisinya "Jang Terampas dan Jang Terputus", Chairil Anwar telah menyadari bahwa hidupnya singkat.
Kematiannya pada 28 April (yang kemudian diperingati sebagai Hari Puisi Nasional) 1949 di usia 26 tahun, dengan spekulasi penyebab seperti tifus, sifilis, atau tuberkulosis, tak mengurangi cerminan keberanian dan kejujuran dalam setiap bait puisinya. Puisi terakhirnya, "Cemara Menderai Sampai Jauh", menjadi saksi bisu perjalanan hidup seorang seniman yang gigih berjuang melewati segala keterbatasan.
Meski perjalanan hidupnya singkat, warisan sastra Chairil Anwar tetap menginspirasi, tidak hanya sebagai cermin keberanian untuk mengeksplorasi perasaan, tetapi juga sebagai tonggak penting dalam perkembangan puisi modern Indonesia.
Karyanya yang memukau dan penuh semangat individualisme terus mengalir dalam setiap generasi, mempertajam jiwa dan kepekaan sastra tanah air.