Menurut Alvon, terdapat sejumlah pertimbangan dalam putusan pengadilan yang dinilainya belum terbukti secara hukum.
Ia menilai bahwa beberapa bagian dalam putusan hakim hanya bersumber dari argumen pihak pemohon yang belum dibuktikan secara sah dan tidak berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.
Ia menekankan bahwa dalam praktik hukum, suatu pernyataan hanya dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah jika disertai dengan kesaksian yang dapat dipercaya serta bukti otentik.
Baca Juga: Baim Wong Bagikan Momen Kebersamaannya dengan Sang Anak dan Paula Verhoeven
Namun dalam kasus ini, ia menyebut bahwa pertimbangan dalam putusan justru mengandalkan dalil yang tidak diverifikasi secara menyeluruh, sehingga menimbulkan persoalan dari sisi administratif peradilan.
Pernyataan ini kemudian memicu rasa ingin tahu publik, terutama karena istilah Administratif Judicial atau pengawasan administratif dalam konteks peradilan masih terdengar asing bagi banyak orang.
Istilah ini merujuk pada mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga peradilan agar tetap sejalan dengan ketentuan hukum dan prinsip keadilan.
Dalam hal ini, lembaga seperti Komisi Yudisial maupun pengawasan internal Mahkamah Agung memiliki peran strategis untuk memastikan bahwa proses peradilan berjalan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab.
Tujuan utamanya adalah mencegah penyimpangan prosedural oleh aparat penegak hukum, khususnya hakim, sekaligus melindungi hak-hak warga negara dalam sistem peradilan.
Jika ditemukan adanya kesalahan prosedural atau pelanggaran etik, mekanisme pengawasan ini memungkinkan dilakukannya koreksi terhadap putusan maupun tindakan yang dianggap tidak sesuai hukum atau keadilan.
Dengan demikian, Administratif Judicial bukanlah bentuk campur tangan terhadap substansi perkara, melainkan pengawasan atas kepatuhan terhadap tata kelola yang baik dalam proses hukum.