Ichsanuddin Noorsy bicara soal kembali ke UUD 45. Foto: DPD RI.

EKONOMI

Tarif Trump, Biaya Mendominasi

Selasa 08 Apr 2025, 01:04 WIB

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Sekitar 40 tahun lalu, saat Indonesia didikte Amerika Serikat untuk melepas hambatan tarif (tariff barrier) terhadap perdangan bebas, hampir semua ekonom Indonesia yang dididik Barat dan "kader Washington" mengaminkan anjuran yang memaksa itu. Argumentasi mereka, sebagaimana argumentasi ekonom AS adalah, perdagangan bebas akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Maka pemerintah harus melepaskan perlindungan dan tidak boleh mendistorsi pasar. Lalu BUMN dan perusahaan domestik jangan menjadi jago kandang. Tesa mereka berbunyi, biarkan pasar mencari keseimbangan sendiri. Let the free market play, begitulah propagandanya.

Semua universitas dan perguruan tinggi di Indonesia menyetujui. Mata kuliah ekonomi internasional pun menjadi pengajaran bergengsi. Kebijakan ekonomi politik saat itu dikenal dengan sebutan deregulasi dan debirokratisasi. Lahirlah paket kebijakan November 1987 yang menurunkan tarif masuk barang impor. Bahkan pekerjaan Bea Cukai diserahkan ke perusahaan multi nasional asal Perancis bernama SGS (Société Générale de Surveillance).

Baca Juga: Tanggapi Tarif Resiprokal Trump, Presiden Prabowo: Kita Siap Hadapi Tantangan dengan Gagah

Menkeu BJ Sumarlin pun mengeluarkan gebrakan Paket Oktober 1988, suatu kebijakan yang meliberalkan sektor keuangan dan perbankan. Nilai tukar rupiah menjadi mengambang bebas. Hasilnya, Indonesia diserang oleh pasar uang yang memukul rupiah sehingga terjadi krisis multi dimensi 1997/1998.

Lalu UUD 1945 pun diganti menjadi UUD 2002, hasil amandemen empat kali. Banyak yang belum sadar, nilai tukar adalah bagian dari harga diri bangsa. Setelah Indonesia terpuruk, AS kemudian menerbitkan kebijakan perang melawan teror menyusul peristiwa runtuhnya gedung kembar World Trade Centre pada 11 September 2001.

Justru dengan peristiwa ini, AS membangun keyakinan diri bahwa pasar bebas, perdagangan bebas, demokrasi, model pembangunan Barat, dan tegaknya hak asasi manusia patut dicanangkan di seluruh dunia. Presiden AS ke-43 George Walker Bush menegaskan hal itu pada 17 September 2002 dalam National Security Strategic of USA.

Baca Juga: Trump Berencana Akan Hapus Status Legal bagi 532 Ribu Imigran, Apa Dampaknya?

Jika kini Presiden AS ke-45 dan ke- 47 Donald Trump yang juga dari Partai Republik menerbitkan kebijakan hambatan tarif, maka AS sebenarnya sedang mempertahankan dominasi perekonomian globalnya dan sekaligus menyerang balik 60 negara.

Sebenarnya pada 2004 AS sudah merasakan desakan impor dari berbagai negara, khususnya dari RRC. Walau sudah mendapat kepastian dari Irak, AS merasa tak nyaman tergantung pada pasokan minyak dari Venezuela, Kanada, Kuwait, dan Saudi Arabia.

Pada 2007 AS mengalami defisit perdagangan dengan RRC senilai US$ 267 miliar dan menjadi US$323 miliar pada 2008. Inilah yang menyebabkan krisis keuangan global pada 2008 karena gagal bayarnya Subprime Mortgage. Lagi-lagi semua ekonom mengaminkan bahwa krisis 2008/2009 disebabkan oleh krisis keuangan, tanpa melihat kekalahan perang dagang AS.

Menurut Wall Street Journal, defisit perdagangan AS sudah terjadi sejak 1980. Sementara defisit APBNnya berlangsung sejak 2001. Kebijakan GW Bush sendiri dipandang telah membangkitkan perlawanan dari musuh-musuh potensial AS, baik secara militer maupun secara ekonomi. Komite Penyelidik yang dibentuk Obama menyatakan, krisis 2008/2009 disebabkan oleh moral hazard (Re: Noorsy, Moral Hazard Perbankan. Unair, Surabaya, Feb 2011).

Dalam pengajaran saya di berbagai universitas/perguruan tinggi dan di Sekolah Pimpinan Nasional LAN, Sekolah Perwira Tinggi Kepolisian, serta di Sekolah Pendidikan Luar Negeri Kemenlu sejak 2009 hingga 2015, perang dagang telah dimulai sejak Obama mencanangkan American First.

Saat berkuasa, Obama menyatakan muak terhadap Presiden RRC Hu Jintao. Tapi sikap Obama dinyatakan tidak memadai oleh Trump yang menjadi Presiden AS ke-45. Saat itu Trump langsung menyatakan perang dagang, perang nilai tukar, dan perang sistem ekonomi.

Media arus utama Barat melukiskan peperangan ekonomi itu sebagai state capitalism (BUMN) melawan corporate capitalism (korporasi swasta). Lima bulan sebelum Trump menduduki Gedung Putih, serangan Barat terhadap pasar modal Shanghai-yang disebut Black Monday 24 Agustus 2015- justru membuahkan perlawanan Rusia dan China. Dua negara ini menanggalkan pemakaian sistem pembayaran SWIFT Code yang menggunakan mata uang dolar AS.

Kartu kredit Visa Card disingkirkan kartu kredit RRC, Unionpay. Secara menyeluruh, perang sistem ini dikenal sebagai Sustainable Growth atau Sustainable Development Goal (SDG) dari Barat--dikomandoi AS melalui Bank Dunia, IMF dan WTO-- melawan Belt and Road Inisiative dari RRC beserta negara mitranya.

Dalam lingkup kelembagaan, inilah peperangan Bank Dunia bersama ADB melawan New Develoment Bank bersama Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang modal besarnya dari RRC. Maka dedolarisasi tak terhindarkan.

Sementara RRC dan Rusia membuat sistem pembayaran sendiri sambil mengganti dolar AS dengan mata uang bilateral atau mata uang BRICS. Sebelumnya kader Partai Republik Marco Rubio yang saat itu menjabat sebagai Senator dari Florida, menyatakan, AS tidak perlu kecil hati.

Pernyataan ini seirama dengan pemberitaan majalah the Economist 30 Juni 2007, Still No.1. Itu karena AS memiliki kekuatan militer, jumlah APBN yang besar, menguasai pasar minyak dan komoditas strategis, menguasai teknologi informasi dan komunikasi, penentu utama industri makanan cepat saji, dan penguasa industri media serta menjadi kiblat pendidikan.

Tapi toh perang ekonomi yang dilancarkan Trump era pertama tidak juga membuat AS berhasil mengatasi neraca perdagangannya. Pada titik ini, dimensi perdagangan global berbasis persaingan bebas telah membuat perekonomian AS terhuyung-huyung.

Penguasaan dolar AS sebesar 88,4 persen pada transaksi keuangan internasional, 59,1 persen pada cadangan devisa berbagai negara, 46,5 persen pada SWIFT Code, dan 25,4 persen pada perhitungan PDB Global, tidak membuat AS mampu mengatasi kemelut perekonomian nasionalnya.

Kebijakan suku bunga Federal Reserve, inflasi tinggi, dan bantuan sosial melalui paycheck tidak membuat daya beli masyarakat AS membaik. Krisis kepemilikan rumah berlangsung bersamaan dengan bencana kebakaran, kebanjiran dan badai tornado yang menimbulkan biaya tinggi. Ketimpangan ekonomi yang tinggi pun terjadi.

Sebagai negara super power perekonomian dunia, Trump melihat, biaya perekonomian nasional AS dan menjaga posisi mendominasi dunia dapat dilakukan antara lain dengan tarif resiprokal.

Di dalam negeri, kendati diprotes berbagai negara bagian dan masyarakat luas, Trump melancarkan efisiensi anggaran dengan memberhentikan jutaan pegawai federal dan negara bagian, kebijakan imigrasi yang melanggar kebebasan berbicara dan berkumpul, dan tarif resiprokalnya.

Rasanya, Trump akan bertahan dengan sikapnya jika kita belajar dari karakternya sebagai pebinis dan tokoh masyarakat kulit putih AS. Maka 50 negara yang tarifnya dinaikkan mengajukan negosiasi. Sementara musuh utamanya, Kanada, Meksiko dan RRC melakukan pembalasan. Artinya, perang ekonomi belum usai.

Bagi Indonesia yang terkena penetapan tarif 32 persen dan ingin menegosiasikan, sebenarnya patut dilihat dalam perspektif risiko dan manfaat. Belajar dari 40 tahun terakhir, jatuhnya nilai tukar dan merupakan nilai tukar terlemah ke lima di dunia memberikan pembelajaran bahwa ada yang salah dalam pemilihan dan pemilahan kebijakan.

Defisit neraca pembayaran bersamaan dengan defisit anggaran menunjukkan surplus neraca perdagangan tidak identik dengan membaiknya makro prudensial (nilai tukar, suku bunga, dan inflasi). Rentannya makro prudensial ini membuat mikro prudensial selalu berhadapan dengan rendahnya kepastian struktur biaya produksi.

Pasar barang (terutama pada barang dan jasa hajat hidup orang banyak) dan pasar uang pasti memengaruhi pasar tenaga kerja. Pemutusan Hubungan Kerja pun terjadi lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Sementara membaiknya nilai ekspor terhadap utang luar negeri dari 123 persen pada 2013 menjadi 130 persen pada 2024 malah menunjukkan ada yang salah dengan struktural perekonomian Indonesia.

Penyebabnya adalah deindustrialisasi yang berjalan sejak era SBY hingga saat ini. Trump sebenarnya sedang mengajarkan kaum teknokrat dan intelektual ultra neoliberal Indoensial bahwa inward looking (melihat ke dalam, mengutamakan kepentingan nasional) merupakan hal sangat penting untuk memelihara dan menjaga kedaulatan ekonomi.

Penyelamatan ini harus dilakukan bukan hanya dengan menganekaragamkan pasar, atau memperluas pasar. Ada yang lebih penting lagi, yakni memperbaiki kepercayaan sosial, politik dan ekonomi bersamaan dengan mendorong terjadinya inovasi sehingga bangsa ini tidak melulu dijadikan konsumen, atau menjadi budak dan operator atas kemajuan teknologi informas dan komunikasi.

Bangsa Indonesia tetap mempunyai harapan besar untuk bangkit sepanjang bangsa ini setia, tangguh dan teguh mempertahankan janji suci para pendiri republik. Mari berhenti menjadi penjilat dan penghianat karena kita mempunyai kiblat ekonomi sendiri. (Ichsanuddin Noorsy)

Tags:
ekonomi IndonesiaIchsanuddin Noorsytarif ekspor AStarif resiprokal

Tim Poskota

Reporter

Aminudin AS

Editor