POSKOTA.CO.ID - Respons cepat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menyetujui revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) hanya dalam lima hari.
Proses legislasi yang tergesa-gesa ini menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk akademisi hukum, yang mempertanyakan urgensi dan dampaknya terhadap keseimbangan kekuasaan serta hak-hak rakyat.
Pengamat hukum Muhtar Said menyoroti kontras antara persetujuan kilat revisi UU TNI dengan lambatnya pembahasan RUU pro-rakyat seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat.
Artikel ini juga mengulas aksi unjuk rasa masyarakat sipil yang menolak revisi UU TNI karena dikhawatirkan mengembalikan dwifungsi TNI.
Baca Juga: Gak Perlu Ganti Provider! Simak Cara Mempercepat Koneksi Internet di HP Android dan iPhone Kamu
DPR Setujui Revisi UU TNI dalam 5 Hari, Apa Dampaknya bagi Rakyat?
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja membuat keputusan yang mengejutkan: menyetujui revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) hanya dalam waktu lima hari. Kecepatan ini tentu mengundang tanya, terutama dari kalangan akademisi dan pengamat hukum.
Bagaimana bisa sebuah revisi undang-undang sepenting ini diproses begitu cepat, sementara RUU pro-rakyat lain justru terbengkalai bertahun-tahun?
Muhtar Said, Pengamat Hukum dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), menyoroti ketidakseimbangan ini.
Menurutnya, persetujuan kilat revisi UU TNI sangat kontras dengan nasib RUU lain yang lebih berpihak pada rakyat, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat Adat, dan RUU Perampasan Aset.
"Ini mencerminkan kecenderungan DPR untuk mendahulukan kepentingan eksekutif dibandingkan perlindungan hukum dan hak-hak rakyat," ujar Said.
Kekhawatiran atas Dwifungsi TNI
Said juga memperingatkan risiko memperkuat TNI secara berlebihan. Menurutnya, hal ini berpotensi menggeser keseimbangan kekuasaan dan mengarahkan Indonesia menuju junta militer.