Pasal 65 dalam UU No. 34 Tahun 2004 menyatakan bahwa prajurit TNI yang melakukan tindak pidana militer akan diadili di peradilan militer, sementara untuk tindak pidana umum mereka tunduk pada peradilan umum.
Namun, aturan ini menjadi perdebatan karena dinilai menciptakan sistem peradilan ganda. Banyak pihak menganggap bahwa prajurit TNI seharusnya tetap diadili di peradilan umum untuk tindak pidana yang bukan bagian dari tugas militer.
Pasal 74: Ketentuan Peralihan
Pasal 74 menyebutkan bahwa aturan dalam Pasal 65 hanya berlaku setelah undang-undang peradilan militer yang baru disahkan.
Sebelum itu, prajurit TNI masih tunduk pada UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Para pengamat menilai hal ini dapat memperpanjang transisi yang tidak perlu dan menghambat reformasi sistem hukum militer.
Baca Juga: Kenang Mendiang Kim Sae Ron, Drakor “Everyday We Are” Segera Tayang
Dampak Revisi UU TNI terhadap Demokrasi
Banyak pengamat menilai bahwa beberapa pasal dalam revisi UU TNI ini berpotensi membawa Indonesia kembali ke era militerisme yang pernah terjadi di masa lalu.
Dalam sistem demokrasi, militer seharusnya tunduk pada kendali sipil. Jika prajurit aktif diizinkan menduduki jabatan sipil dan peradilan militer tetap dominan, maka bisa terjadi ketimpangan dalam mekanisme checks and balances.
Masyarakat sipil dan organisasi hak asasi manusia pun mendesak agar revisi UU TNI ini dikaji ulang secara mendalam.
Reformasi sektor keamanan yang telah dilakukan selama dua dekade terakhir dianggap bisa terancam jika revisi ini disahkan tanpa pertimbangan matang.
Revisi UU TNI 2025 menjadi perdebatan besar karena melibatkan isu-isu sensitif seperti dwifungsi militer, batas usia pensiun, dan sistem peradilan ganda.
Pemerintah perlu memastikan bahwa perubahan yang dilakukan tetap sejalan dengan prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Jika tidak, revisi ini justru bisa menjadi langkah mundur bagi reformasi TNI yang telah berlangsung sejak era Reformasi.