Tujuan utamanya adalah agar mereka dapat merasakan kebahagiaan dan keberkahan pada Hari Raya Idul Fitri, seperti halnya orang-orang yang mampu yang berbuka puasa dengan makan. Dengan zakat fitrahi, orang-orang miskin dapat merayakan Idul Fitri dengan lebih baik.
Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai bentuk penyucian diri dan juga pemberian bantuan kepada orang yang membutuhkan.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, zakat fitri diwajibkan dengan bentuk satu sa (ukuran takaran) dari makanan pokok, seperti kurma atau gandum.
Satu sa tersebut setara dengan empat mud, yang masing-masing mud kira-kira seukuran tangan orang dewasa ketika disatukan dalam keadaan berdoa.
Namun, karena setiap daerah memiliki bahan makanan pokok yang berbeda, zakat fitrah saat ini dapat diberikan dalam bentuk bahan makanan pokok yang umum dikonsumsi di daerah tersebut, seperti beras.
Sebagai contoh, di Indonesia, zakat fitrah biasanya diberikan dalam bentuk beras dengan takaran sekitar 2,5 hingga 3 kilogram.
Bolehkah Zakat Fitri Disalurkan dalam Bentuk Uang?
Mayoritas ulama, terutama dari mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, sepakat bahwa zakat fitrah sebaiknya disalurkan dalam bentuk bahan makanan pokok, bukan dalam bentuk uang.
Hal ini bertujuan agar zakat fitrah benar-benar dapat memenuhi kebutuhan logistik mereka yang membutuhkan pada Hari Raya Idul Fitri.
Meskipun ada pendapat dari mazhab Hanafi yang membolehkan zakat fitrah dalam bentuk uang, pendapat ini dianggap lemah oleh mayoritas ulama.
Zakat fitrah yang disalurkan dalam bentuk uang dikhawatirkan tidak memenuhi tujuan utama zakat, yaitu untuk memberikan makanan yang dapat dimakan dan membuktikan bahwa hari tersebut adalah Hari Raya Idul Fitri, bukan hari puasa.
Itulah penjelasan zakat fitrah menurut Ustad Adi Hidayat yang perlu dipahami.