Sengketa Lahan Perumahan di Bekasi, Bari Diadang Aparat hingga Alat Berat

Selasa 04 Feb 2025, 09:29 WIB
Seseorang melintasi perumahan Cluster Setia Mekar Residence 2, di Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Senin, 3 Februari 2025. (Sumber: Poskota/Ihsan Fahmi)

Seseorang melintasi perumahan Cluster Setia Mekar Residence 2, di Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Senin, 3 Februari 2025. (Sumber: Poskota/Ihsan Fahmi)

BEKASI, POSKOTA.CO.ID - Bari, 40 tahun, perwakilan developer sekaligus warga Cluster Setia Mekar Residence 2, berbicara dengan nada berat saat mengungkap kondisi yang tengah dialaminya dan para penghuni cluster tersebut. Lokasi hunian yang mereka tempati kini telah dieksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Cikarang.

Putusan eksekusi itu meninggalkan jejak trauma mendalam bagi warga yang harus menghadapi aparat keamanan, alat berat, serta perbincangan di media sosial yang memperburuk situasi.

"Banyak yang trauma, terutama karena mereka harus menghadapi aparat dan alat berat, ditambah lagi dengan pemberitaan di media sosial yang beredar," ucap Bari kepada Poskota, Senin, 3 Februari 2025 sore.

Ada 14 penghuni yang tinggal di cluster yang terletak di Tambun Utara, Kabupaten Bekasi itu. Bari menjelaskan, listrik di hunian itu telah dimatikan, membuat suasana semakin sepi. "Listrik mati, semua kosong," ujarnya dengan nada pasrah.

Baca Juga: Perkara Sengketa Lahan, Vihara Amurva Bhumi Jaksel Menang Kasasi MA

Kini, penghuni rumah maupun delapan ruko yang terletak persis di depan cluster tersebut telah meninggalkan lokasi. Banyak penghuni cluster tersebut yang membeli unit rumah sebagai investasi. "Di sini bukan rumah pertama mereka. Kalau segmented menengah ke atas, memang banyak yang punya dua rumah atau lebih. Ada yang disewakan, ada yang ditempati," tuturnya.

Namun, polemik yang dihadapi sekarang yaitu status lahan dan bangunan yang dihuni oleh warga. Meski sudah tinggal di sana, mereka masih terikat dengan klaim kepemilikan tanah yang sah berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). "Masalahnya adalah status SHM dan IMB yang belum dibatalkan oleh BPN. Karena kami memiliki sertifikat untuk 27 bidang tanah ini," katanya.

Tiga papan informasi yang terpasang di sekitar lokasi menggambarkan ketegangan yang terjadi. Papan pertama dapat ditemukan di pinggir Jalan Karangsatria, papan kedua di depan landmark Cluster Setia Mekar, dan papan ketiga tepat berada di samping cluster tersebut.

Papan-papan ini mengumumkan bahwa tanah tersebut adalah milik Mimi Jamilah, dengan luas 36.030 meter persegi. Sebuah pengumuman yang memberi peringatan keras, "Dilarang masuk tanpa izin Hj. Mimi Jamilah. Perbuatan menguasai, memasuki, menyewakan, merusak atau menghilangkan tanda batas pagar tanah ini diancam pidana," demikian bunyi informasi yang tertulis.

Baca Juga: Sengketa Lahan, SDN 2 Kaduagung Timur Lebak Disegel Ahli Waris 

Hingga saat ini, suasana di Cluster Setia Mekar, sepi. Sejak eksekusi pengosongan yang dilakukan pada Kamis (30/1), tak ada lagi warga yang terlihat memasuki rumah mereka.

Menurut Bari, permasalahan ini berakar dari kepemilikan tanah yang terjadi puluhan tahun lalu. Pada Tahun 1990, SHM bernomor 325 seluas 3,6 hektare dimiliki oleh seseorang bernama Juju. Tanah tersebut kemudian dibeli oleh Hamid, tapi terjadi ketidaktertiban pembayaran yang akhirnya menyebabkan Hamid membawa dokumen tanpa menyelesaikan perjanjian jual beli.

Hamid kemudian menunjuk rekannya, Bambang, untuk memasarkan tanah tersebut. Bambang bertemu dengan Kayat, seorang pembeli yang akhirnya menyelesaikan pembayaran untuk tanah itu. "Singkatnya lunas, antara Kayat dengan Juju, dan dibuatlah akta jual beli. Sertifikat SHM 325 pun balik nama atas nama Kayat," ujar Bari.

Namun, Kayat membeli tanah tersebut bukan untuk ditempati, melainkan untuk dijual kembali. Sayangnya, saat akan dipasarkan, Kayat kesulitan mencari pembeli. Akhirnya, tanah tersebut dibagi-bagi menjadi beberapa bagian dengan nomor sertifikat berbeda, salah satunya menjadi sertifikat 704 seluas 2,4 hektare dan 705 seluas 3.100 meter persegi, yang dibeli oleh Toenggol Paraon Siagian. "Kemudian balik nama dari Kayat menjadi Toenggoel," lanjut Bari.

Pada 1996, terungkap bahwa ahli waris dari Hamid, yakni Mimi Jamilah, mulai menggugat sejumlah pihak terkait kepemilikan tanah tersebut, termasuk Bambang, Kayat, Juju, dan Toenggoel. "Mimi menggugat berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) antara Juju dan Hamid," ungkap Bari.

Gugatan tersebut berlanjut ke Pengadilan Negeri Bekasi, Pengadilan Tinggi, hingga Kasasi. Pada 2002, akhirnya terjadi perdamaian antara Mimi dan para tergugat. Setelah itu, tidak ada kabar lebih lanjut mengenai sengketa tanah hingga 2019.

Tahun tersebut, Bari membeli tanah dengan sertifikat 705 seluas 3.500 meter persegi dari Toenggoel, dengan segala dokumen yang tampak sah. "Saya cek sertifikat di BPN, clear and clean, tidak ada masalah," ujar dia.

Setelah transaksi, Bari melakukan balik nama dan membagi tanah tersebut menjadi 27 bidang untuk dijual. Bahkan, beberapa bank plat merah ikut terlibat dalam proses kredit untuk para konsumen. Namun, pada 18 Desember 2024, Bari terkejut menerima surat eksekusi dari PN Cikarang yang meminta pengosongan lahan.

Bari merasa terkejut, karena dokumen SHM yang dimilikinya tidak pernah dibatalkan atau dicabut. "Kami kaget hanya diberi jeda satu bulan. Sementara kami tidak tahu duduk perkaranya," ungkapnya.

Bari dan beberapa perwakilan warga sempat melakukan audiensi dengan PN Cikarang, tapi mereka hanya mendapat penjelasan bahwa eksekusi dilakukan karena perkara tersebut sudah ditangani di PN Bekasi.

Berita Terkait

News Update