"Jadi seharusnya aturan-aturan yang di bawahnya juga merujuk ke aturan-aturan yang di atasnya. Terus ini (Pergub Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian) kan juga melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan gitu," ucap Anita.
Anita berpandangan, bahwa poin dari Pergub Nomor 2 Tahun 2025 berangkat dari asumsi bahwa yang bisa melakukan poligami itu adalah aparatur sipil negara (ASN) laki-laki. Hal itu berdasarkan syarat-syarat yang hampir sama dengan aturan yang membahas soal poligami di Undang-undang Perkawinan.
"Undang-undang Perkawinan itu kan di tahun 1972 dan itu sudah harus diperbarui. Kita sudah ada aturan-aturan terbaru yang lebih memperhatikan aspek-aspek kesetaraan, keadilan. Jadi ini tuh sudah basi, sudah enggak zamannya," keluh Anita.
Di samping itu, selama ini praktik-praktik poligami rentan atau kerap memunculkan permasalahan dalam rumah tangga. Mulai dari persoalan ekonomi, penelantaran, hingga Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Sebab di satu sisi masyarakat Indonesia masih hidup dengan kultur patriarki yang kuat. Sehingga budaya patriarki yang kuat tersebut lebih banyak memberi hak istimewa kepada laki-laki.
"Seperti yang tercermin dalam persyaratan, itu seolah-olah ketika pasangan tidak bisa punya anak itu penyebabnya si istri. Padahal kan tidak seperti itu, tapi dua pihak itu memiliki peluang," ucapnya.