“Kemampuan menyelesaikan segala konflik politik, baik yang baru maupun yang lama, baik yang transparan maupun tersirat dan terpendam akan menjadi poin tersendiri dalam membangun kepercayaan baru.”
-Harmoko-
Rasa optimisme negeri kita akan lebih baik, tidak cukup digelorakan, di tengah ketidakpastian ekonomi global dan geopolitik yang diprediksi masih mewarnai sepanjang tahun 2025 ini.
Optimisme publik bahwa pemerintahan baru akan membawa perubahan menuju kebaikan perlu direspons melalui kebijakan yang pro rakyat.
Tanpa aksi nyata menggulirkan kebijakan pro rakyat, rasa optimisme bisa berbalik menjadi pesimisme. Keyakinan akan adanya perubahan akan bergeser menjadi keraguan.
Kita patut mengapresiasi sejumlah kebijakan pro rakyat yang mulai digulirkan di awal tahun seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).
Meski masih adanya sejumlah catatan untuk perbaikan, tetapi MBG telah menjadi bukti komitmen pemerintah atas janjinya kepada rakyat.
Ini awal yang baik dalam upaya menggelorakan semangat membangun, meningkatkan partisipasi publik dalam mengawal program pembangunan yang sudah dan kelak akan digulirkan.
Pendekatan yang dilakukan melalui kesadaran, bukan pemaksaan. Kita sadar betul, partisipasi dipaksakan akan bersifat sementara, sebaliknya jika melalui kesadaran akan langgeng sepanjang masa seperti dianjurkan para leluhur kita.
Menengok sejenak historis Sunan Kalijaga. Keberhasilannya dalam membangun umat (Islam) di nuswantara ini karena sikap bijak, kelembutan dan kesabaran.
Sunan Kalijaga yang bernama Raden Said ini berpendapat bahwa masyarakat akan menjauhi jika diserang pendiriannya dan adat budayanya yang sudah menjadi prinsip hidupnya. Karenanya masyarakat harus didekati secara bertahap: Mengikuti sambil terus mempengaruhi.
Syiar dengan menggunakan wayang, gamelan dan seni suara adalah bentuk toleransi kepada budaya lokal sebagai pintu masuk membangun partisipasi masyarakat. Beberapa lagu suluk ciptaannya adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul pacul. Lagu yang diciptakan di eranya, pada abad ke-14 Masehi itu teruji masih cukup populer hingga saat ini.
Proses penyadaran, bukan pemaksaan dalam membangun masyarakat sebagaimana halnya telah diamanatkan dalam falsafah bangsa kita, Pancasila, di antaranya tidak semena-mena, tidak pula memaksakan kehendak kepada orang lain. Termasuk memaksakan kebijakan dan program, sementara publik sejatinya menolak.
Kesadaran berpartisipasi akan menguat, jika adanya kepercayaan publik bahwa pemerintah diyakini mampu melakukan perbaikan. Meski tidak dapat dipungkiri kepercayaan publik kepada pemerintahan yang baru, tak lepas dari sosok dan jati diri pemimpin negeri saat ini, yang mencerminkan kenegarawanan.
Kepemimpinannya tak hanya diakui publik dalam negeri, juga di panggung dunia. Ini menjadi modal bagi pemerintahan Prabowo Subianto untuk membangun kepercayaan baru.
Hal ini menjadi penting karena esensi kepemimpinan sejatinya adalah kepercayaan. Tanpa kepercayaan, apa pun program yang digulirkan, meski bertujuan baik, akan disikapi sebaliknya.
Jika sudah demikian, jangankan partisipasi, yang mencuat kemudian adalah keraguan dan keraguan.
Yah, momen awal adalah membangun kepercayaan dengan melakukan perubahan mendasar di segala sektor kehidupan.Tak hanya kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, juga kehidupan politik.
Koalisi gemuk yang sudah terbentuk menjadi sarana memantapkan stabilitas politik yang penuh inovasi., bukan stagnasi dalam menyikapi dinamika yang terjadi.
Kehendak publik adanya perubahan dalam paket undang – undang politik, termasuk sistem pemilu, guna memurnikan demokrasi Pancasila, sudah sepatutnya direspon secara bijak.
Dengan harapan sistem pemilu ke depan lebih demokratis, berkeadilan dan berkedaulatan rakyat.
Meski sekarang ini bukan lagi tahun politik, tetapi menjadi momen tepat menyelesaikan segala konflik politik, konflik lama, termasuk dendam politik.
Kemampuan menyelesaikan segala konflik politik, baik yang baru maupun yang lama, baik yang transparan maupun tersirat dan terpendam akan menjadi poin tersendiri dalam membangun kepercayaan baru, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Tak kalah pentingnya memberi kepercayaan kepada publik untuk membangun daerahnya. Pusat tak perlu memaksakan daerah mengikuti kebijakan sama persis seperti yang dilakukan pusat.
Hendaknya kebijakan terpusat diselaraskan dengan kearifan lokal, bahkan kian mengembangkan potensi daerah. Bukan merusaknya.
Dengan memberi kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun daerahnya diselaraskan dengan kebijakan dari pusat, akan menumbuhkan kepercayaan baru bagi seluruh jajaran pemda dan masyarakatnya.
Satu hal yang patut menjadi catatan, pendekatan bottom up yang dilakukan tetap toleran pada kearifan lokal, manfaatnya dapat langsung dirasakan masyarakat.
Perlu komitmen tinggi, jangan di kemudian hari meminggirkan keberadaan masyarakat setempat, lebih – lebih setelah masuknya investor asing.(Azisoko).