POSKOTA.CO.ID - Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit dikenal sebagai pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dirinya dianggap melakukan makar hingga terbunuhnya 7 jenderal akibat kebengisan PKI.
Siapakah sebenarnya DN Aidit? Poskota dilansir dari berbagai sumber mengulasnya untuk Anda.
DN Aidit lahir pada 30 Juli 1923 dengan Achmad Aidit di Belitung, dan dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya.
Dirinya merupakan anak dari Abdullah Aidit, yang pernah memimpin gerakan pemuda di Belitung melawan kekuasaan kolonial Belanda. Lalu setelah merdeka sempat menjadi anggota DPRS mewakili rakyat Belitung.
Bahkan Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada Muhammadiyah.
Sementara sang ibu berasal dari keluarga ningrat Belitung, putri dari Ki Agus Haji Abdul Rachman dan Nyayu Aminah. Ki Agus dikenal sebagai peneroka kampung Batu Itam sekaligus tuan atas tanah yang dibukanya.
Aidit dididik dalam sistem pendidikan kolonial Belanda. Aidit merupakan anak sulung dari empat bersaudara.
Sejak kecil, Aidit sudah ditinggal meninggal oleh ayahnya. Lalu dirinya dibesarkan oleh ayah tiri. Aidit memiliki dua saudara tiri, yaitu Asahan dan Sobron.
Setelah menamatkan pelajaran HIS di Bangka, ia bertolak ke Pulau Jawa. Ia dititipkan oleh sang ibu pada orang sekampungnya, Maninjau, yang telah lama merantau dan menetap di Bandung, yakni Isa Anshari.
Selama hampir empat tahun, Aidit tinggal bersama keluarga Isa Anshari sehingga mereka sudah layaknya adik-kakak. Hubungan pribadi Aidit dan Isa tetap terpelihara sampai kelak mereka menjadi lawan politik.
Bahkan Mereka masih rutin bertemu, Aidit pernah membawakan buku tentang komunisme untuk putra sulung Isa Anshary, Endang Saifuddin Anshari.
Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit
Pada tahun 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Setelah itu, Aidit dan teman seindekosnya yang bernama Mochtar mengusahakan sebuah penjahitan yang juga diberi nama "Antara". Lokasinya yang strategis menjadikannya tempat mangkal aktivis pada masa itu, seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh.
Di sini, berkumpul pula para seniman yang terkenal dengan nama seniman Senen. Sebagian besar terdiri atas para pendatang dari Minangkabau yang banyak berjualan dan membuka restoran di Jakarta.
Lalu Aidit masuk ke Sekolah Dagang ("Handelsschool"). Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia).
Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia.
Menurut sejumlah temannya, Mohammad Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Aidit menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.
Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya berkembang tanpa menunjukkan keinginan untuk merebut kekuasaan.
Sebagai balasan atas dukungannya terhadap Sukarno, ia berhasil menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua.
Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan Tiongkok.
Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.
Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan lantaran program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia.
Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer.
Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka.
Ditambah lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.
Pada 1965, PKI menjadi salah satu partai politik terbesar di Indonesia, dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan.
Pada tanggal 30 September 1965 terjadilah tragedi nasional yang dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang jenderal dan seorang perwira. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa G-30-S/PKI.
Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini. Penangkapan DN Aidit, dilakukan pada 22 November 1965, pukul 23.00 WIB. Aidit diciduk dari tempat persembunyiannya, di dalam rumah Kasim alias Harjomartono, di Kampung Sambeng, Solo, Jawa Tengah.
Sebelum ke rumah Kasim, Aidit sempat sembunyi di beberapa tempat. Namun ketika di rumah Kasim lah dia berhasil dijemput paksa tentara bersenjata lengkap ke Loji Gandrung, Solo, tempat peristirahatan AD.
Ada beberapa versi tentang kematian D.N. Aidit ini. Menurut versi pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ lalu ditembak hingga tewas seketika.