Kopi Pagi: Dulu Malu, Kini Malu-Maluin. (Poskota)

Kopi Pagi

Kopi Pagi: Dulu Malu, Kini Malu-Maluin

Kamis 19 Sep 2024, 08:27 WIB

“Menuju Indonesia hebat dan kuat, diperlukan rasa malu untuk korupsi, malu menerima suap, pungli dan gratifikasi, malu mengambil hak orang lain, malu memperdaya, mengakali dan menindas saudara sendiri,..”

-Harmoko-

Dulu, leluhur kita sering berpesan agar tidak merasa malu untuk maju. Tidak perlu malu menuntut ilmu, meski dengan segala keterbatasan akibat status sosial ekonominya. 

Tidak perlu malu, bekerja apa saja, yang penting halal dan berkah.

Ini ajaran motivasi agar tidak rendah diri dengan keadaan dirinya, untuk mencapai tujuan mulia dalam hidupnya.

Pasca-kemerdekaan , motivasi agar tidak merasa malu sebagai bangsa Indonesia juga diajarkan para tokoh dan pendiri bangsa (founding fathers) kita. 

Bangsa Indonesia bukanlah bangsa ‘tempe’. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat dan hebat.

Tentu yang dimaksud adalah jangan malu untuk melangkah maju, jangan malu berbuat kebaikan. Baik untuk diri sendiri, orang lain, lingkungan, lebih luas lagi untuk bangsa dan negara.

Seperti dikatakan Bung Karno “Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya dengan kemajuan selangkah pun.”

Jelas yang dimaksudkan adalah jangan malu dan takut untuk berbuat kebaikan.

Sekecil apa pun kebaikan itu akan memberikan manfaat kepada orang lain, setidaknya kepada diri sendiri, ketimbang sama sekali tidak.

Yang perlu digaris bawahi adalah jangan malu berbuat kebaikan, bukan keburukan. Makna yang hendak saya sampaikan, untuk segala perbuatan buruk kita wajib merasa malu, sekecil apa pun keburukan itu dilakukan.

Kini, dapat kita saksikan bersama rasa malu berbuat keburukan seolah telah pudar bagi sementara orang yang telah melakukan, baik pejabat, keluarga pejabat maupun birokrat.

Tak sedikit pejabat publik, kepala daerah dan wakil rakyat yang menjadi tersangka korupsi. Jumlahnya sudah ratusan orang yang terlibat korupsi, baik yang tertangkap tangan maupun hasil pengembangan kasus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Publik pun sudah paham betul mengapa mereka sampai terjerat korupsi. Satu di antaranya disebabkan mahalnya biaya politik sehingga mendorong setelah memiliki kekuasaan berupaya mengembalikan modal politiknya dengan segala cara.

Terdesak komitmen dan janji politik kepada pemodal, rasa malu berbuat keburukan yang selama ini dipegang erat menjadi pudar.

Aturan baku dilanggar, kekuasaan diselewengkan untuk kepentingan pribadinya dan kerabatnya, bukan untuk rakyatnya.

Sementara kita tahu, korupsi tak hanya merugikan keuangan negara (data ICW menyebutkan selam 10 tahun terakhir, 2013-2022, kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp238,14 triliun).

Tak hanya menyebabkan kelambatan pertumbuhan ekonomi, juga menurunnya investasi dan tingkat kepercayaan.

Di sisi lain, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Bahkan, korupsi ditengarai dapat menurunkan tingkat kebahagian masyarakat.

Awalnya bahagia hidup dengan penuh kesederhanaan yang dijalaninya, boleh jadi, menjadi kecewa begitu mengetahui uang rakyat dikorupsi, lebih-lebih jika uang hasil korupsi, misalnya digunakan untuk foya-foya oleh pejabat dan keluarganya yang dulu dipilihnya, disanjungnya.

Kita acap menyaksikan paparan sejumlah peristiwa pelanggaran etika dan norma dipertontonkan di ranah publik. 

Memperdaya sesama , menerima suap, pungli, gratifikasi tanpa ditutup-tutupi lagi.

Tidak sedikit pejabat publik yang terlihat seolah senyum ceria ketika mengenakan rompi tahanan KPK, bukan rasa malu atas perilakunya.

Era kini, menuju Indonesia Maju, rasa malu berbuat keburukan hendaknya menjadi budaya bagi kita semua, tak terkecuali para pejabat, birokrat dan keluarganya dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk menuju visi Indonesia Emas, menjadi bangsa yang besar dan mandiri, negara kita memerlukan dukungan seluruh rakyat yang memiliki “rasa malu” sebagai filter diri agar tidak terjerumus kepada hal-hal keburukan.

Malu untuk korupsi, malu menerima suap, pungli dan gratifikasi, malu mengambil hak orang lain, malu memperdaya, mengakali dan menindas saudara sendiri, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Hendaknya malu juga mempertontonkan gaya hidup hedon, di tengah masih banyaknya saudara – saudara kita yang hidup serba kekurangan.

Keteladanan diperlukan bagi para pejabat, kerabat dan keluarganya, karena merekalah sosok yang layak dijadikan panutan. Tak terkecuali kita semua, siapa pun dia.

Jangan sampai, dulu sangat teguh dengan rasa malu berbuat buruk, kini karena beragam situasi, menjadi malu- maluin. Jangan juga, dulu malu-malu, kini malu-maluin. (Azisoko).

Tags:
malumalu-maluinMenerima Suappungligratifikasimengambil hak orang lainstatus sosial ekonomi

Administrator

Reporter

Ade Mamad

Editor