“Perbedaan adalah keniscayaan, tak terkecuali beda sikap politik. Tetapi hendaknya, perbedaan itu menjadi satu kekuatan untuk menjalin persatuan dan kesatuan, bukan malah dipertentangkan yang memunculkan embrio perpecahan.”
-Harmoko-
Dalam mengelola organisasi kita kenal istilah revitalisasi, reorganisasi, regenerasi dan reposisi serta re yang lain, yang dimaknai sebagai penataan ulang atau mengembalikan kepada kondisi awal yang lebih baik baik.
Dalam dunia politik kita kenal istilah koalisi, polarisasi, konspirasi, oligarki serta kolaborasi dan rekonsiliasi. Masing – masing kata, tentu beda makna, tetapi semuanya ikut mewarnai dinamika politik yang kerap terjadi, utamanya jelang dan pasca pemilu.
Dua kata terakhir, kolaborasi dan rekonsiliasi, penting diimplementasikan dalam menyongsong pemerintahan baru. Era transisi menjadi momen penting, bagaimana membangun kolaborasi menuju rekonsiliasi nasional para elite politik dan tokoh bangsa, tanpa membedakan latar belakangnya.
Kolaborasi dapat diartikan sebagai bentuk kerja sama membangun kekuatan. Tentu kolaborasi akan menjadi indah, jika didasari oleh maksud, tujuan dan kepentingan dan cita-cita yang sama. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tentunya cita-cita negeri ini didirikan, yakni keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana terukir dalam Pembukaan UUD 1945. Yang jika dirinci lagi, di dalamnya menyangkut kehidupan sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya bangsa.
Melalui jalinan kolaborasi yang padu, pada saatnya akan tercipta rekonsiliasi nasional dari para elite politik dan tokoh bangsa negeri ini demi satu tujuan dan cita-cita bersama, memajukan bangsa dan negara.
Kita paham betul, koalisi telah terbangun menuju pemerintahan baru hasil pemilu 2024, baik koalisi partai politik yang nantinya akan berlanjut di pemerintahan melalui pembentukan kabinet, hingga koalisi di parlemen.
Meski begitu koalisi yang terbangun, belum menjamin sepenuhnya terciptanya rekonsiliasi para tokoh bangsa. Karenanya kolaborasi bisa menjadi salah satu kunci menuju terwujudnya rekonsiliasi.
Tentu, kolaborasi yang dibangun hendaknya mengedepankan kesetaraan dengan melepaskan ego kekuasaan dan jabatan, ego kekuatan serta ego sektoral.
Tak terkecuali ego pribadi dan keluarga, termasuk menghapus jejak masa lalu yang menjadi penyebab renggangnya komunikasi politik dan memburuknya hubungan sosial.
Kolaborasi yang dibutuhkan adalah bentuk kerja sama tanpa prasangka, dan jauh dari rasa curiga.Kolaborasi yang didalamnya terjalin interaksi, serta adanya kompromi beberapa elemen yang terkait individu, lembaga dan kekuasaan.