“Mengambil yang baik di masa lalu kemudian dikembangkan di era kekinian, serta membuang jauh yang buruk, itu bagian dari perbuatan luhur yang sejalan dengan ‘mikul duwur, mendem jero’, juga selaras dengan falsafah hidup bangsa kita.”
-Harmoko-
Acap dikatakan, sejarah adalah masa lalu, sudah terlewati. Yang terpenting adalah masa sekarang dan mendatang. Tetapi hendaknya patut diingat, masa sekarang adalah rangkaian dari masa lalu.Tak ada ada masa sekarang, kalau tidak ada masa lalu.
Tak ubahnya, sekarang kita menjadi ada karena orangtua kita, nenek moyang kita, para leluhur kita. Karena itu cukup dikenal pepatah, “jangan sekali-sekali melupakan sejarah.”
Meski sejarah itu merujuk ke peristiwa masa lalu, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masa lalu sebagai cermin, masa sekarang sebagai batu pijakan masa depan, mau dikemanakan negeri ini.
Para pendiri negeri sering berpesan untuk tidak serta merta melupakan sejarah.
Sang founding fathers, Bung Karno, mengatakan “Janganlah melihat masa depan dengan mata buta! Masa lampau adalah berguna sebagai kaca benggala dari pada masa yang akan datang”.
Kaca benggala adalah cermin tebal dan besar yang bisa memantulkan cahayanya untuk merenung dan introspeksi diri. Untuk membantu telaah, menambal kekurangan, bagian mana yang bagus untuk dikembangkan dengan era kekinian.
Dengan kaca benggala dapat merefleksikan situasi dan kondisi lebih riil, lebih luas dan lebih jauh lagi, ketimbang spion atau cermis hias.
Melalui kaca benggala diharapkan memantulkan kreasi dan inspirasi untuk melakukan perbaikan di era sekarang dan di masa mendatang.
Berbagai peristiwa penting menjadi rujukan negara dan bangsanya untuk diperingati, sebagai bukti agar kita selalu ingat sejarah.
Begitupun dengan Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober. Tahun 2024 ini, Hari Kesaktian Pancasila diperingati dengan mengusung tema ” Bersama Pancasila Kita Wujudkan Indonesia Emas.”
Tema ini menegaskan bahwa Indonesia Emas yang menjadi cita-cita bangsa hanya bisa tercapai ketika nilai – nilai luhur Pancasila tetap mengakar di masyarakat.
Mengakar berarti masuk ke lubuk hati yang paling dalam, bukan hanya sebagai pengetahuan ataupun hafalan anak-anak sekolah.
Bukan pula sebatas formalitas legalitas sebagai dasar negara, pandangan dan pedoman hidup bangsa, tetapi yang lebih utama adalah pengamalannya. Bukan diucapkan, tetapi dipraktikkan.
Merujuk kepada ketentuan, terdapat 36 butir-butir Pancasila sebagai penjabaran dari lima asas/ sila yang ada, yang menjadi wajib diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa di antaranya yang cukup relevan dengan situasi terkini, di masa transisi pemerintahan adalah mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
Artinya Pancasila amat menekankan kesatuan dan persatuan, tetapi tanpa mematikan atau melenyapkan kebhinekaan yang ada.
Tentu, menghargai kebhinekaan dalam batas toleransi, tidak membahayakan persatuan. Ini perlu, mengingat kita harus memahami bahwa potensi disintegrasi tetaplah ada. Sekecil apa pun potensi harus kita waspadai.
Dalam konteks kehidupan politik adalah tetap mendorong terjalinnya persatuan dan kesatuan menuju terwujudnya visi Indonesia Emas sebagai cita-cita bangsa. Tentu dengan saling menghargai sikap politik masing-masing.
Gerbong boleh beda, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah sama, sebagaimana cita-cita negeri ini didirikan, mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan dan kemakmuran.Menjadikan Indonesia yang mandiri, tangguh, hebat dan kuat.
Hari Kesaktian Pancasila diperingati karena peristiwa dan kejadian yang perlu menjadi pengingat bangsa saat ini. Itulah mengapa, kita selalu diingatkan agar jangan melupakan sejarah.
Tidak melupakan sejarah, bukan sebatas peristiwanya, tetapi juga para pelaku sejarah yang telah berjasa hingga negeri kita bisa seperti sekarang ini. Tidak pula melupakan para pemimpin bangsa sejak era perjuangan, kemerdekaan, pasca- kemerdekaan hingga saat ini.
Siapa pun yang telah menjadi kepala negara, Presiden Republik Indonesia, mereka telah berjasa membangun negara kita.Kenang kebaikannya, lupakan keburukannya.
Dalam filosofi Jawa dikenal: Mikul duwur, mendem jero-mikul = membawa di atas bahu, duwur = tinggi. Mendem = menanam, jero = dalam. Sesuatu yang harus dijunjung tinggi, dan ditanam dalam – dalam.
Ini anjuran bagi seorang anak untuk dapat menjunjung tinggi kehormatan dan memuliakan orang tuanya. Sementara sebisa mungkin menyembunyikan segala aib dan kesalahan orang tuanya.
Pitutur ini tak hanya berlaku bagi anak kepada orang tuanya, tetapi anak negeri kepada pemimpin negerinya, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Mengambil yang baik di masa lalu kemudian dikembangkan di era kekinian, serta membuang jauh yang buruk, itu bagian dari perbuatan luhur yang sejalan dengan adat budaya kita, juga selaras dengan falsafah hidup bangsa kita. (Azisoko).
Dapatkan berita dan informasi menarik lainnya di Google News dan jangan lupa ikuti kanal WhatsApp Poskota agar tak ketinggalan update berita setiap hari.