Tak sedikit para bakal calon kepala daerah (cakada) tiba-tiba rajin berkunjung ke pasar tradisional. Hal yang tak biasanya dilakukan, tetapi itulah fakta adanya menjelang gelaran pilkada serentak.
“Nggak usah kaget. Calon kepala daerah berkunjung ke pasar tradisional itu bukan kali ini terjadi, tetapi acap dilakukan setiap jelang pilkada,” kata Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan Yudi.
“Kenapa ya bakal calon gubernur, hingga calon bupati dan wali kota memilih pasar sebagai tempat berkunjung?,” tanya Yudi.
“Ya belanja, memangnya nggak boleh,” kata Heri.
“Ya, boleh – boleh saja, cuma tumben – tumbenan sampai repot – repot belanja kebutuhan dapur sendiri,” ujar Yudi.
“Sebagai bakal calon kepala daerah harus rajin mendatangi warga, di mana pun berada. Sosialisasi dan mengenalkan diri bahwa dirinya sebagai bakal calon kepala daerah.” kata mas Bro.
“Kalau itu sih tahu, tetapi mengapa sering memilih pasar sebagai tempat sosialisasi,” tanya Yudi.
“Pasar itu tempat berkumpulnya orang, tempat transaksi, jual beli secara langsung antara pedagang dan pembeli dari berbagai kalangan,” jawab mas Bro.
“Jadi tak perlu repot – repot ngumpulin orang untuk sosialisasi. Tinggal masuk pasar ketemu dan berbincang dengan dengan banyak orang, mulai dari pedagang, pengunjung pasar dari beragam profesi,” kata Yudi.
“Bukan itu saja.Dengan berkunjung ke pasar akan mendapat informasi soal harga sembako, omset penjualan, distribusi, daya beli, kebutuhan konsumen dan lain sebagainya,” kata mas Bro.
“Segala macam isu mutakhir beredar di pasar. Dapat dikatakan pasar tradisional itu potret kehidupan rakyat,” jelas Yudi.
“Keluar dari pasar bikin pernyataan. Tinggal pilih isu mana yang paling efektif guna meraih dukungan publik. Bisa soal daya beli yang menurun, perbaikan sarana dan prasarana pasar, dan masih banyak lagi,” kata mas Bro.
“Tapi jangan lupa borong dagangan, sayuran, buah- buahan, ikan atau apalah biar pedagang ikut senang. Bila perlu bayari ibu – ibu yang lagi belanja,” kata Heri.
“Nggak boleh bagi – bagi uang bisa kena semprit. Saat kampanye saja tak boleh bagi – bagi uang, apalagi kini belum masa kampanye,” jelas Yudi.
“Yang terpenting, apa yang dinyatakan kepada publik harus dibuktikan setelah terpilih menjadi kepada daerah. Jangan cuma gunakan pasar untuk meraih simpati rakyat, tapi abaikan janji di pasar rakyat. Andaikan pasarnya bisa curhat, mungkin akan bilang ‘saya cuma jadi tempat singgah’.,” urai mas Bro. (Joko Lestari)