Kadang, untuk menjadi politisi yang sukses diperlukan kemampuan yang baik untuk mengambil peran sebagai boneka.
Makin berhasil ia keluar dari dirinya sendiri dan menyerahkan kepada otoritas orang lain (mem-boneka-kan diri), maka peluang kesuksesan untuk menduduki posisi strategis semakin terbuka lebar.
Permainan pencitraan berbasis survei dilakukan bukan hanya untuk mengukur popularitas dan elektabilitasnya, tapi terutama untuk mengidentifikasi “apa mau” masyarakat pemilih terhadap anda.
Selain pencitraan, proses politik juga butuh uang, masuklah cukong / konglomerat busuk sebagai jalan alternatifnya harus cari bantuan.
Dan anda tahu, bantuan itu gak gratis. Pasti ada konsekuensi dan kompensasinya. Disitulah anda mulai menggadaikan (mem-boneka-kan) diri anda.
Mana mungkin seorang tukang mebel akan memiliki dana untuk biaya maju sebagai kandidat Presiden tanpa bantuan sponsor, resiko jual diri adalah jalan keluarnya.
Makin besar anda bergantung kepada bantuan seseorang atau kelompok, maka makin besar pula tekanan dan kendali terhadap diri anda.
Kalau anda sudah dikendalikan, maka itu artinya anda sudah jadi boneka.
Menurut Robert Merton, terjadilah disfunction demokrasi. Keluar dari tujuan utama demokrasi. Yang diharapkan adalah seorang pemimpin yang berintegritas dan berkapasitas, tapi yang keluar jadi pemenang umumnya justru para boneka.
Demokrasi berjalan dalam mekanisme penuh rekayasa dan manipulatif.
Sikap dan perilaku ini didukung dan mendapat legitimasi dari mereka yang punya otoritas sosial, yaitu para tokoh, pimpinan ormas, agamawan dan intelektual yang telah lebih dulu dapat bantuan atau sudah bisa dibeli otaknya.
Pilpres dan Pilkada bukan lagi sebagai ajang demokrasi tetapi sebagai pasar transaksi dan pabrik untuk menghasilkan boneka dan badut-badut politik. Kalau demikian, tidak ada yang bisa diharapkan dari boneka-boneka itu .. ?.
Ingin sukses jadilah boneka, sekalipun harus mempertaruhkan harga dirinya bahkan harga diri bangsa dan negara. (*)