MENDADAK akan ada Dewan Pertimbangan Agung (DPA) lagi seperti di era Orde Baru. DPA yang sudah dikubur oleh Gerakan reformasi, tiba-tiba muncul lagi setelah 9 fraksi di Badan Legislasi (Baleg) DPR menyetujui RUU Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) dibawa ke rapat paripurna DPR.
Dan pada Rapat Paripurna DPR ke-22 Masa Sidang V Tahun 2023-2024 membahas hal itu dengan dinomori RUU No 19 Tahun 2006 disahkan menjadi usul inisiatif DPR. RUU dari revisi Wantimpres ini dengan demikian akan mulai dibahas pada persidangan mendatang, karena sekarang DPR lagi reses.
Menurut Ketua Baleg Supratman Andi Agtas, terdapat tiga poin perubahan dari revisi UU ini. Pertama, perubahan nomenklatur dari Wantimpres kembali menjadi DPA. lantas, mengubah jumlah keanggotaan.
Wantimpres kini diisi satu orang ketua merangkap anggota dan 8 anggota, sedangkan di UU yang baru nanti akan menyesuaikan dengan kebutuhan presiden, tak ada batasan anggota DPA. Yang ketiga itu menyangkut soal syarat-syarat untuk menjadi anggota DPA.
Bisa dikatakan mendadak karena sebelumnya tidak ada sosialisasi ke masyarakat, tidak ada pemberitahuan secara luas untuk partisipasi masyarakat untuk revisi UU Wantimpres tersebut. Nah sekarang tahu-tahu sudah disetujui di tingkat Baleg, dan oleh rapat paripurna DPR disetujui untuk dibahas sebagai RUU inisiatif DPR.
Yang menarik juga, belakangan sering muncul RUU inisiatif DPR. Ini memunculkan kecurigaan, sebenarnya itu berasal dari pemerintah, tapi diupayakan supaya menjadi RUU inisitif DPR.
Kemungkinan hal ini karena, Menkumham Yassona H Laoly yang berasal dari PDIP, enggan untuk mengajukan, karena hubungan PDIP dengan Presiden Jokowi sedang renggang. Maka RUU dilempar ke DPR dengan mengatasnamakan RUU inisiatif DPR.
Kedua, pihak pemerintah yang kemungkinan sebenarnya punya usul, tak mau terlihat mencolok sebagai pengusul RUU, dan pura-pura tak tahu menahu. Hal itu supaya tidak terlihat bahwa Presiden Jokowi memiliki ambisi terkait isi dan realisasi atau pelaksanaan nantinya kalau sudah menjadi UU.
Hal ini berlaku juga untuk revisi UU Wantimpres menjadi RUU DPA. Pemerintah tak mau terlihat mencolok sebagai yang punya gawe, dan dengan inisiatif DPR, semua karena kemauan DPR. Aneh pula, kalau memang DPR punya kehendak, apa untungnya bagi DPR membuat UU DPA.
Dari sini kemudian munculah dugaan sebenarnya hal ini untuk memberi jalan agar Jokowi kalau sudah lengser, masih mendapat tempat di Lembaga negara resmi, yang tak lain adalah DPA. Artinya Jokowi nantinya didudukkan di Lembaga itu. Dengan demikian dari sini dia masih punya kekuasaan untuk memberi pengaruh kepada Presiden Prabowo Subianto kelak.
Indikasi akan berkiprahnya Jokowi di DPA itu terlihat dari suara orang terdekatnya, Maruarar Sirait. Dia mengatakan, dirinya yakin dan sangat berharap agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi anggota DPA, nanti setelah selesai dari masa jabatannya.
Dia membeberkan, Jokowi teleh punya pengalaman wali kota, gubernur, presiden. Maruarar juga menilai hubungan Jokowi dengan Presiden Terpilih Prabowo Subianto juga sangat baik.
Demikian juga dengan partai, dengan masyarakat. Menurutnya, orang yang paling pantas Jokowi. Dia beralasan dengan Jokowi menjadi anggota DPA, maka akan bisa memberikan pertimbangan. Dia menolak bila jabatan tersebut disebut untuk mengawasi pemerintahan yang akan datang.
Dengan gambaran seperti ini, hadirnya kembali DPA tersebut tampak bukan untuk kebutuhan ketatanegaraan, tetapi untuk mengadopsi kepentingan pihak tertentu, dugaannya untuk Jokowi. Hal ini tidak sehat untuk demokrasi dan bernegara, karena kepentingan politik elit saja yang diutamakan. (**)