Kopi Pagi Harmoko: Dicari Sosok Peduli

Senin 24 Jun 2024, 07:55 WIB

“Jika ia seorang pemimpin bagaimana secara konsisten peduli dan melindungi warganya, rakyatnya. Melindungi dalam arti secara keseluruhan, terhadap hak-hak sosialnya, ekonominya dan politiknya..”
-Harmoko-

 
Bangsa kita sejak dulu kala sudah diajarkan untuk senantiasa hidup welas asih, saling tolong menolong terhadap sesama. Budaya ini terukir secara jelas dalam nilai-nilai luhur falsafah bangsa kita, Pancasila, utamanya sila kedua dan kelima.

Bahkan sebelumnya, pada abad ke-14, Raden Makdum Ibrahim yang bergelar Sunan Bonang (Wali Songo) mengukir empat pesan moral monumental mengenai kemanusiaan dan keadilan yang kemudian dijadikan filosofi kehidupan.

Keempat pesan Sunan Bonang, sebagai berikut:

1. Wenehono teken marang wong kang wuto - Berilah tongkat kepada orang yang buta.
2. Wenehono mangan marang wong kang luwe - Berilah makan kepada orang yang lapar.
3. Wenehono busono marang wong wudo - Berilah pakaian kepada orang yang telanjang.
4. Wenehono payung marang wong kaudanan - Berilah payung kepada orang yang kehujanan.

Pesan yang sama persis disematkan juga oleh Sunan Drajat, tak lain adik kandung Sunan Bonang, pada pepali ketujuh (terakhir) dari tujuh pepali (nasihat) yang diajarkan.

Empat nasihat Sunan Bonang dan Sunan Drajat yang disebut Catur Piwulang ini menekankan kepada masalah sosial seperti ilmu pengetahuan dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia.

Mengajarkan bagaimana cara hidup bersama sebagai makhluk sosial agar saling menghargai dan membantu sesama.

Hendaknya kita memaknai pitutur luhur ini tidak secara tekstual. Memberikan tongkat kepada orang buta, tidak sebatas kepada orang yang tidak bisa melihat. Buta ini dimaksudkan, bisa buta ilmu dan pengetahuan, buta wawasan. Bisa juga menjadi buta karena dibutakan oleh jabatan dan kekuasaan sehingga menjadi sewenang  wenang.

Berilah makan kepada orang yang lapar, bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup dasarnya saja ( makan dan minum), tetapi makna yang lebih luas lagi adalah mengangkat warga miskin menjadi mandiri dan sejahtera.

Kita paham, warga miskin dan anak terlantar menjadi tanggung jawab negara sebagaimana pasal 34 (1) UUD 1945 yang berbunyi: Fakir miskin dan anak  anak terlantar dipelihara oleh negara.

Pengertian fakir miskin begitu luas, seluas masalah kemiskinan itu sendiri, maka bukan hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi tanggung jawab kita bersama untuk mengatasinya.

Pesan berikutnya, yakni berilah pakaian kepada orang yang telanjang, bukan sebatas memberi sandang kepada mereka yang tidak bisa membeli pakaian. Telanjang bisa diartikan tidak memiliki rasa malu, jauh dari etika dan moral.

Tidak sedikit yang sudah tahu persis bahwa korupsi itu melanggar hukum dan menyengsarakan rakyat, menerima gratifikasi itu dilarang, namun tetap saja dilakukan karena rasa malu sepertinya sudah hilang.

Jauh dari etika dan moralitas, karena dengan sengaja menyalahgunakan jabatan dan kekuasaannya demi kepentingan dirinya dan keluarganya.

Kita tahu, nilai-nilai moral dimaksud, di antaranya menjauhkan diri dari ucapan dan perbuatan yang cenderung mau menang sendiri, jauh dari pemaksaan, bukan malah memaksakan kehendaknya.

Inilah moral bangsa Indonesia yang hendaknya teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam dunia maya, lebih  lebih alam nyata, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom Kopi Pagi di media ini.

Dengan bermoral akan tercipta keharmonisan dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Tak ada intrik dan konflik, tiada lagi prasangka dan curiga, yang ada hanyalah adab kebaikan dan keluhuran budi sebagaimana tercermin lewat ucapan dan perbuatan

Pesan selanjutnya soal berilah payung kepada orang yang kehujanan bermakna memberi perlindungan. Jika ia seorang pemimpin bagaimana secara konsisten melindungi warganya, rakyatnya. Melindungi dalam arti secara keseluruhan, terhadap hak-hak sosialnya, ekonominya dan politiknya.

Keempat pesan Sunan Bonang dan Sunan Drajat memang dicetuskan di eranya, tetapi diyakini masih tetap aktual, dan hendaknya diaktualisasikan di era kini, menyongsong digelarnya pilkada serentak di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota.

Kita berharap pilkada serentak akan melahirkan kepala daerah yang peduli dan melindungi rakyatnya, bukan memanfaatkan rakyatnya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, koleganya dan kerabatnya.

Jangan ketika menjadi kandidat rajin menyambangi masyarakat, begitu terpilih menjadi pejabat, melupakannya lantas meninggalkannya.

Kita dapat mengidentifikasi mana calon pemimpin yang benar-benar peduli dan melindungi, atau sebatas mencari simpati. (Azisoko)

Dapatkan berita pilihan editor dan informasi menarik lainnya di saluran WhatsApp resmi Poskota.co.id. GABUNG DI SINI

Berita Terkait
News Update