Kopi Pagi Harmoko: Lupakan Keburukannya, Ingatlah Kebaikannya

Senin 22 Apr 2024, 06:21 WIB

“Kita diajarkan agar selalu mengingat kebaikan orang lain, sekecil apa pun kebaikan yang ia lakukan. Sebaliknya, jika kita berbuat baik kepada orang lain, segera lupakanlah. Tak perlu dingat – ingat, tak perlu pamrih..”

-Harmoko-
 
USAI Hari Raya Idul Fitri, di bulan Syawal ini, ada satu tradisi dalam masyarakat kita yang disebut halal bihalal. Bahkan, ada yang menafsirkan halal bihalal di tahun ini, menjadi momen silaturahmi politik bagi para elite politik negeri ini sebagai upaya rekonsiliasi nasional pasca pemilu 2024.

Penafsiran ini tidaklah berlebihan karena menurut sejarahnya, halal bihalal tak lepas dari upaya menyelesaikan konflik politik. Literatur menyebutkan asal-usul halal bihalal dengan sejumlah versinya,satu di antaranya halal bihalal berasal dari KH Wahab Hasbullah pada tahun 1948.

Satu satu ulama pendiri Nahdlatul Ulama ini memperkenalkan halal bihalal kepada Bung Karno sebagai bentuk silaturahmi antar-pemimpin politik yang pada saat itu masih memiliki konflik.

Konon, atas saran tersebut, pada Hari Raya Idul Fitri tahun 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara menghadiri silaturahmi yang diberi tema “halal bihalal.”

Para tokoh politik akhirnya duduk satu meja. Mereka mulai menyusun kekuatan dan persatuan bangsa ke depan. Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah di masa itu menyelenggarakan halal bihalal.

Versi lain menyebutkan halal bihalal sudah ada sejak masa Mangkunegara I (1757) atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Setelah salat Idulfitri, Pangeran Sambernyawa dengan nama kecilnya, Raden Mas Said, mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit serentak di balai istana. Pada pertemuan itu dilaksanakan tradisi sungkem dan saling memaafkan yang kemudian berkembang menjadi istilah halal bihalal.

Lepas mana yang lebih dahulu, yang jelas halal bihalal ini sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia hingga kini yang di dalamnya mengajarkan kebaikan, saling memaafkan, memperat silaturahmi, membangun kerukunan dengan memupus perbedaan, melepaskan ego pribadi dan kelompok demi persatuan dan kesatuan.

Kesalahan dan keburukan masa lalu, hendaknya lupakan karena diyakini di balik kesalahan dan keburukan, tentu ada kebaikan. Ini sejalan dengan ajaran leluhur yang perlu kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Yang intinya, jika kita disakiti orang, segera lupakanlah. Sebaliknya kalau mendapat kebaikan dari orang lain, kenanglah sepanjang hayat. Dengan kata lain, lupakanlah keburukannya, ingatlah kebaikannya. Sebuah sikap yang saat ini dibutuhkan dalam merespons hasil pemilu, baik pilpres maupun pileg. Sikap yang diperlukan sebagai bentuk penghargaan atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu.

Lupakan keburukannya, kenanglah kebaikannya hendaknya perlu dikedepankan untuk membangun bangsa dan negara ke depan. Kadang kita sering lupa dengan kebaikan seseorang hanya karena satu kesalahan. Seakan satu keburukan menghapus ribuan kebaikan yang pernah dilakukan.
Kebaikan tetaplah kebaikan. Sebesar apa pun kesalahan yang dilakukan oleh seseorang, jangan pernah menghilangkan kebaikan yang pernah dilakukan kepada kita.

Berita Terkait

Edukasi Budi Pekerti

Kamis 02 Mei 2024, 06:27 WIB
undefined

Kopi Pagi Harmoko: Budaya Beretika (1)

Kamis 16 Mei 2024, 08:00 WIB
undefined
News Update