Ucapan meminta dan memberi maaf (saling memaafkan) masih memenuhi ruang publik. Tidak cukup dengan menulis pesan, jabat tangan pun dilakukan dengan menggelar halal bihalal.
Budaya saling memaafkan patut kita pelihara karena mengajarkan banyak hal, di antaranya sikap rendah hati. Karena saling memaafkan hendaknya tidak sebatas formalitas, tidak hanya pada hari lebaran saja.
“Maaf hendaknya dilakukan kapan saja, di mana saja dan kepada siapa saja,” kata Heri mengawali obrolan warteg bersama sohibnya, mas Bro dan Yudi.
“Setuju Bro. Maaf tidak boleh pilih-pilih. Jangan karena statusnya lebih tinggi, buru-buru minta maaf. Giliran sama teman sendiri, nggak pernah minta maaf. Baru minta maaf kalau dipaksa-paksa,” tambah Yudi.
“Sesama teman nggak usah saling sindir. Barusan kalian bersalaman-salaman,” urai Ayu Bahari, pedagang warteg ikut nimbrung.
“Dengerin yang punya warteg bicara,” ujar Heri.
“Setuju. Begitu menyadari melakukan kesalahan, segeralah minta maaf. Jangan nunggu hari lebaran. Masa salahnya sekarang, maafnya nunggu lebaran tahun depan,” kata mas Bro.
“Yang lebih penting lagi maaf itu tidak sebatas formalitas, tanpa adanya realitas untuk melakukan perbaikan,” kata Heri.
“Iya. Ada juga teman kita yang menjadikan kata maaf sebagai senjata. Setiap salah minta maaf, salah lagi minta maaf lagi. Jadi bolak baik minta maaf, cuma kesalahannya itu-itu saja. Gimana menurut kalian?” kata Yudi.
“Meminta maafnya baik, tidak baiknya tanpa dibarengi dengan upaya memperbaiki diri,” kata mas Bro.
“Terus permintaan maafnya apa kita terima?” tanya Yudi.