ADVERTISEMENT

Kritisi Presiden Boleh Berkampanye dan Memihak, HNW Ingatkan Soal Abuse of Power dan Etika Bernegara

Jumat, 26 Januari 2024 15:20 WIB

Share
Teks Foto: Presiden Jokowi. (ist)
Teks Foto: Presiden Jokowi. (ist)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, mengkritisi pernyataan Presiden Joko Widodo agar tidak terjadi abuse of power, dan etika keteladanan bernegara terkait pernyataannya bahwa Presiden boleh berkampanye dan memihak dalam Pemilu 2024.

HNW sapaan akrabnya menyampaikan memang ada ketentuan UU yang sekilas bisa dijadikan rujukan, tapi HNW juga mengingatkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang jelas dan tegas mengatur soal pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode.

“Ini merupakan ketentuan Konstitusi yang juga amanat reformasi. Yang mudah dipahami bahwa diakhir periode kedua, seperti Presiden Jokowi, diakhir masa jabatan maksimalnya diperiode ke dua, maka Presiden yang bukan hanya kepala pemerintahan tapi juga kepala negara, seharusnya juga mementingkan legacy, keteladanan dan etika sebagai Presiden dengan tidak perlu cawe-cawe untuk sekalipun melalui orang lain tapi esensinya sama yaitu ‘memperpanjang masa jabatannya’. Apalagi bila ‘orang lain’ itu adalah anggota keluarganya sendiri. Karena hal itu juga bentuk nepotisme yang ditolak oleh Reformasi dan menjadi ketentuan yang tidak sesuai dengan Konstitusi, sehingga harusnya dihindari oleh Presiden, agar tidak berpotensi dimakzulkan oleh DPR,” ujarnya, Jumat  (26/1/2024).

“Pembatasan dua periode masa jabatan Presiden ini merupakan ketentuan yang membedakan dengan jabatan-jabatan kenegaraan lainnya,” tambahnya.

Ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 itu-lah yang seharusnya menjadi acuan dalam menafsirkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).

HNW mengakui memang Pasal 299 UU Pemilu memberikan hak kepada presiden dan wakil presiden untuk berkampanye, dengan berbagai persyaratannya.

Namun, yang perlu ditekankan di dalam memahami ketentuan itu adalah untuk ‘berkampanye’, bukan untuk memihak kepada salah satu calon.

“Artinya ketentuan itu seharusnya ditafsirkan bahwa Presiden dapat berkampanye untuk dirinya ketika dirinya secara konstitusi dimungkinkan untuk mencalonkan kembali sebagai salah satu kontestan Pilpres. Namun, apabila dia sudah tidak bisa mencalonkan kembali karena sudah dua periode, secara etika, presiden mestinya tidak perlu cawe-cawe lagi dengan berkampanye, apalagi kampanye terang-terangan memihak kepada salah satu calon," ucapnya.

"Karena yang langsung terkesan di mata rakyat bahwa Presiden tidak memosisikan diri sebagai Kepala Negara yang mengayomi semua pasang calon Presiden/wakil Presiden, dan bahkan Presiden tidak konsisten melaksanakan sumpah jabatan dengan menjalankan keseluruhan aturan perundangan," ungkapnya.

HNW menegaskan apalagi bila UU Pemilu dibaca secara utuh, setelah Pasal 299, ada Pasal 301 yang menegaskan bahwa ‘Presiden atau Wakil Presiden yang telah ditetapkan secara resmi oleh KPU sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden dalam melaksanakan Kampanye Pemilu Presiden atau Wakil Presiden memperhatikan pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai presiden atau wakil presiden.

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT