Etika Politik dan Netralitas Presiden

Kamis 25 Jan 2024, 06:00 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal menaikan gaji PNS, TNI/Polri pada Tahun 2024. (Ist)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal menaikan gaji PNS, TNI/Polri pada Tahun 2024. (Ist)

PERNYATAAN Presiden Joko Widodo bahwa presiden dapat ikut kampanye dan memihak salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dinilai akan semakin menunjukkan ketidaknetralan.

Dari segi etika politik, sikap Presiden tersebut dipandang tidak baik meski aturan perundang-undangan tidak melarangnya.

Jika bicara aturan hukum, Undang-Undang Pemilu memang memberikan hak kepada presiden untuk melakukan kampanye.

Begitu pula dalam negara demokrasi, presiden bisa berkampanye.

Apalagi jika yang bersangkutan maju sebagai petahana.

Dengan demikian, kemudian ada larangan pemanfaatan fasilitas negara.

Namun, yang menjadi persoalan di Indonesia, sulit untuk memisahkan fasilitas negara.

Mana saja fasilitas yang bisa digunakan dan mana yang harus ditinggalkan.

Karena kesulitan itu, pada akhirnya presiden sebagai simbol menjadi tidak netral, tidak fair.

Adapun dalam Pilpres 2024 ini, anak sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai salah satu kandidat.

Gibran maju sebagai calon wakil presiden (cawapres), mendampingi calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto.

Majunya Gibran sebagai cawapres sempat menuai polemik sehingga berujung pada penjatuhan sanksi berat terhadap hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, berupa pemberhentian Anwar dari jabatannya sebagai ketua MK pada November 2023.

Majelis Kehormatan MK yang menjatuhkan sanksi menyatakan bahwa Anwar yang merupakan adik ipar Presiden Jokowi itu terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik terkait dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia calon presiden-calon wakil presiden.

Berkat jatuhnya putusan MK No 90/PUU-XXI/2023, Gibran dapat ikut maju sebagai kandidat Pilpres 2024.

Bagaimana pun dukungan seorang presiden kepada salah satu pasangan capres-cawapres akan sangat menguntungkan bagi pasangan calon tersebut. Sementara jabatan presiden sebenarnya jabatan publik.

Ketika jabatan itu dipakai untuk mendukung salah satu calon, dengan sendirinya itu adalah penyalahgunaan jabatan.

Karena tidak mungkin satu orang lalu masyarakat bisa melihat dia sebagai pribadi atau sebagai presiden.

Pasti akan dilihat sebagai presiden.

Dukungan seorang presiden terhadap salah satu kandidat juga tidak mewujudkan keadilan elektoral.

Apalagi, calon yang didukung berpolemik dan anaknya sendiri yang dipandang memiliki masalah dari sisi etika. (*)



 

Berita Terkait
News Update