JAKARTA, POSKOTA.CO.ID – Wakil Menteri Agama (Wamenag) RI, Saiful Rahmat Dasuki mengatasi negara Indonesia dibentuk, sebagai negara Pancasila, maka keberagaman diakui. Karena itu, pemerintah menjamin terciptanya kehidupan yang rukun dan bertoleransi, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Demikian pernyataan Wamenag dalam forum diskusi terpumpun (FGD) Kebangsaan Seri 1 bertema “Menjajaki Pentingnya Penyusunan Undang-undang Toleransi” yang dihelat DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Jakarta Minggu (24/12).
Menurutnya, banyak konflik yang melibatkan kehidupan beragama, membutuhkan perhatian dan langkah antisipatif pemerintah. “Sisi yuridis, perlu perundang-undangan yang secara khusus mengatur kerukunan umat beragama,” pungkas Saiful.
Untuk itu, Kementerian Agama (Kemenag) RI mendorong rancangan undang-undang perlindungan umat beragama. Saat ini, Saiful menjelaskan, terdapat tiga kelompok yang mengoyak toleransi.
“Pertama, mereka yang merasa paling benar, mengklaim kebenaran tunggal. Merasa menjadi wakil Tuhan YME, sehingga bertindak dengan kekerasan dan intoleransi,” ungkapnya.
Akibatnya, kata dia, mereka mudah menghakimi, mengkafirkan dan memvonis orang lain. Kedua, adalah kelompok eksklusif. “Mereka menjadi cikal bakal dari intoleransi. Membatasi diri dengan masyarakat, dan tidak mencocoki dengan nilai-nilai lokal, serta tidak sejalan dengan pemikiran orang lain,” urainya.
Ketiga, adalah ideologi transnasional, yang bisa merusak tatanan bangsa Indonesia. “Karena punya ideologi, berupa tujuan politik dan kekuasaan. Mereka punya target, mengubah tatanan kehidupan berbangsa Indonesia,” ujarnya.
Untuk mengatasi gejala intoleransi, Kemenag telah mengkampanyekan moderasi beragama, dengan empat indikator. “Pertama adalah komitmen kebangsaan. Empat pilar kebangsaan, kita butuh Pancasila,” katanya.
Kedua, adalah toleransi. “Yakni mengakui dan menghargai apa yang menjadi keyakinan dan landasan hidup seseorang. Ketika muncul saling tidak menghargai, maka sumber intoleransi terjadi,” jelasnya.
Sedangkan Ketua Umum DPP LDII KH. Chriswanto Santoso intoleransi bila dibiarkan bakal menciptakan persoalan kebangsaan yang lebih besar, yakni mengancam eksistensi bangsa Indonesia.
Chriswanto yang memberikan alternatif solusi dalam tataran praksis. "Konsepnya, pertama, harus berbicara yang baik. Tidak menjelekkan, tidak menyakiti, karena bangsa Indonesia, lahir dari perbedaan,” ujarnya.
Ia menambahkan, kedua, agar amanah dan saling mempercayai. “Selama bisa dipercaya, tidak akan punya masalah,” kata KH Chriswanto.
Ketiga, adalah mengalah. “Tidak usah mengedepankan emosi. Kalau zaman pemilu seperti ini mengedepankan emosi, maka ya sudah. Saya lihat, yang tidak senang, tetap tidak senang, dan orang yang senang, tetap senang,” imbuhnya.
Ia menjelaskan, empat program itu, muaranya adalah pembangunaan SDM. “Indonesia akan menghadapi bonus demografi, kemudian Indonesia Emas 2045. Salah satu bingkai menjadikan SDM berkualitas, adalah memiliki wawasan kebangsaan,” pungkasnya.
Ia menegaskan untuk menguatkan kebangsaan, bangsa Indonesia harus mengingat kembali bahwa negeri ini dibangun bukan atas dasar persamaan.
Oleh karena itu, ia menegaskan, tidak mungkin kesepakatan para pendiri bangsa diingkari. “Maka, siapapun boleh melaksanakan agama yang telah diatur oleh negara. Sesuai dengan tuntunan masing-masing, selama berkonsensus pada empat pilar kebangsaan,” tegasnya.
FGD Kebangsaan yang dihelat DPP LDII, diikuti peserta yang berasal dari pakar dan peneliti, tokoh masyarakat, serta aktivis toleransi. Hadir pula pengurus DPP LDII, dan tamu undangan dari berbagai kalangan. (johara)