Lebih-lebih jika sikap tidak netral itu dilakukan oleh pejabat daerah yang memiliki kekuasaan untuk mengkondisikan, mengarahkan dan mengerahkan dukungan ASN di daerahnya.
Cukup beralasan jika netralitas kepala daerah dan ASN kerap dikritisi.
Cukup beralasan juga munculnya kekhawatiran adanya netraitas semu mengingat ASN terkait dengan aturan main mengikuti perintah atasan dalam menjalankan tugas dan kewajiban.
Termasuk, kemungkinan adanya oknum ASN dilibatkan secara tersembunyi oleh pejabat tertentu pemenangan atau boleh jadi melibatkan diri sebagai bagian dari bargaining position pasca pencoblosan.
Di sisi lain, sistem pemerintahan yang sekarang membuat ASN kadang harus larut dalam desakan kepentingan karir masa depan. Posisi seorang ASN di sebuah pemerintahan(daerah), ditentukan oleh hak prerogatif kepala daerah yang pada saat itu memimpin.
Maknanya seorang kepala daerah memiliki simpul-simpul di ASN dan berjejaring hingga level bawah.
Melalui kewenangan yang dimilikinya, ASN bisa memfasilitasi, memobilisasi massa, dan tentu saja juga mengarahkan dukungan.
Menjadi sulit terbantahkan, jika masing-masing parpol berlomba menempatkan kadernya menjadi kepada daerah.
Selain sebuah prestasi, juga ada kepentingan politik masa depan.
Semakin berprestasi, selain dapat memajukan daerahnya, juga menjadi teladanan kerukunan dan kebersamaan di atas perbedaan.
Menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kejujuran dalam berkompetisi.
Tampil menjadi teladan tanpa keberpihakan (netralitas) itulah harapan rakyat kepada kepala daerah.