Tentunya dengan merujuk kepada apa yang menjadi kehendak masyarakat, apa
yang diharapkan masyarakat. Sebut saja, menentukan posisi bakal capres –
cawapres adalah hak parpol koalisi, tetapi figur seperti yang dibutuhkan
masyarakat, itulah yang menjadi landasan keputusan.
Tak ada larangan, seseorang menjadi calon pejabat sepanjang memenuhi
persyaratan, tetapi kehendak publik, perlu menjadi masukan sebelum
mengambil keputusan.
Keputusan politik yang lebih diarahkan melayani kepentingan dirinya dan
kelompoknya, ketimbang kepentingan rakyat, cermin kebijakan yang tidak
memperhatikan nurani.
Cukup beralasan, jika politik sering dimaknai kekuasaan yang serba elitis
daripada kekuasaan berwajah populis yang bertujuan menyejahterakan dan
memakmurkan rakyat.
Sering disebut pula politik identik dengan upaya meraih kekuasaan dengan cara
apa pun, meski bertentangan dengan pandangan umum.
Repotnya pandangan umum itu bersifat tidak mengikat, tak ada sanksi hukum,
karena dibangun melalui karakteristik masyarakat. Jadi lebih bersifat konvensi
atau aturan moral karenanya tak jarang dilanggar. Mudah diabaikan tanpa rasa
malu dan bersalah.
Lebih – lebih peluang dan akses menuju jalur kompetisi untuk meraih jabatan
dan kekuasaan, sangat terbuka lebar, membuat rasa malu dan bersalah,
diabaikan.Ini menyangkut soal etika dan moral.
Sejarah mencatat, suatu bangsa akan menjadi besar karena moralitas bangsanya
baik, unggul dan tangguh, sebaliknya bangsa akan menjadi lemah, bahkan
runtuh, jika moralitas bangsanya juga ambruk.
Kontestasi pilpres adalah awal membangun peradaban bangsa dengan memilih
calon pemimpin, setidaknya untuk 5 tahun ke depan.
Kita berharap nilai etik dan moral, sebut saja fatsun politik, menjadi acuan bagi
para elite politik dan kandidat dalam melakukan atraksi politik selama
kontestasi.
Mulai dari sekarang,kita harus membangun kesadaran bagaimana proses
merebut, mengisi dan mempertahankan kekuasaan dengan fatsun politik agar
peradaban bangsa tidak koyak.
Mari kita bangun keadaban bercirikan kehalusan budi pekerti, sopan santun dan
ramah tamah yang telah menjadi jati diri bangsa Indonesia sejak dulu kala, kata
Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.