Tetapi tidak lantas mencari-cari, dengan penuh hasrat ambisi melalui jalur transaksi.
Meminta jabatan secara paksa lewat kolega dan main sogok segala.
Jika jabatan publik sudah diperjualbelikan, dilakukan secara transaksional, dapat diduga akan mendatangkan penyelewengan dan penyimpangan, tak acap menimbulkan banyak masalah, akhirnya jauh dari amanah.
Ingat! Jabatan adalah amanah, karenanya siapa pun yang menerimanya wajib menjalankan dengan penuh penghormatan dan tanggung jawab moral yang tinggi.
Berupaya secara maksimal tidak tergoda oleh hasutan, ajakan penyalahgunaan dan penyelewengan.
Tidak tergiur upeti, komisi, dan gratifikasi untuk memperkaya diri sendiri.
Dalam filosofi Jawa disebutkan “Ojo ketungkul marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman” - jika diterjemahkan secara bebas memberi pesan kepada kita agar jangan terlampau terobsesi atau terkungkung oleh keinginan memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.
Kedudukan dapat diartikan sebagai tahta, singgasana, jabatan dan kekuasaan.
Pitutur luhur yang diajarkan Raden Said, lebih dikenal sebagai Sunan Kalijaga ini, masih tetap aktual diterapkan, termasuk sekarang ini.
Lima bulan lagi, rakyat Indonesia akan memilih pemimpin bangsa untuk lima tahun ke depan, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif.
Memilih anggota DPRD tingkat kabupaten/kota hingga DPR RI yang berkantor di Senayan.
Rakyat memilih juga pemimpin nasionalnya, menuju singgasana Istana sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Menjadi bakal calon hingga calon legislatif, capres dan cawapres adalah proses uji kompetensi administratif yang berlanjut kepada uji kelayakan melalui gagasan dan program, visi dan misi, termasuk poin penting adalah apa yang akan dilakukan secara riil untuk membangun bangsa dan negara.
Proses inilah yang hendaknya berjalan secara transparan, penuh kejujuran dan keadilan (jurdil) oleh lembaga penyelenggara pemilu dari pusat sampai level pelaksana, petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara).