Yang kita maknai bukan sebatas penguasaan, tetapi bagaimana memanfaatkan semaksimal mungkin kekayaan alam untuk kesejahteraan. Ini sejalan dengan tujuan negeri kita didirikan untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, bukan segelintir atau sekelompok orang.
Sering kita dengar pejabat memotivasi masyarakat untuk memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam sayuran, buah – buahan dan tanaman berkhasiat dalam rangka memperkuat ketahanan pangan.
Motivasi semacam ini positif, karena dapat kita maknai sebagai upaya pemanfaatan sumber daya alam (SDA) untuk kemakmuran bersama.
Menjadi tidak sinkron, jika masyarakatnya saja diminta mengelola kekayaan alam untuk memperkuat ketahanan pangan, tetapi kebijakan pangan yang paling mendasar, pemenuhan kebutuhan pokok, seperti beras, rutin dilakukan secara instan, melalui impor.
Pada akhir tahun 2022, pemerintah mengimpor 500 ribu ton beras, berlanjut impor 2 juta ton lagi beras dari dari Thailand, Vietnam, India dan Pakistan, hingga akhir tahun 2023.
Sejalan dengan itu, selain menebar operasi pasar, pemerintah juga menggelontorkan ratusan ribu ton beras bantuan pangan kepada 21,353 juta keluarga untuk tiga bulan ke depan, menyusul melonjaknya harga beras sebulan terakhir yang berdampak kepada melajunya inflasi dan melemahnya daya beli masyarakat.
Impor beras bukan kali ini saja, tetapi dari tahun ke tahun. Ada yang mengistilahkan Indonesia merupakan negara “net importer” atau pengimpor beras bersih, dapat dimaknai negara yang membeli lebih banyak barang dari negara lain dalam perdagangan global, dibandingkan menjualnya ke negara
tersebut dalam periode tertentu.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ketergantungan akan beras impor berpotensi kian meningkat.
Prediksi ini tidak akan menjadi kenyataan, jika ada upaya sungguh – sungguh, dengan beragam cara dan pola, mengerahkan segala daya yang ada, guna
mewujudkan kemandirian pangan.
Manakala pemenuhan kebutuhan pangan, sebagian masih impor, kalau hak atas pangan dan pengelolaan pangan masih dikuasai korporasi, mencerminkan belum adanya kemandirian pangan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam
kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Artinya masih jauh dari ketahanan, lebih – lebih kedaulatan. Sebab, konsep dasar kedaulatan pangan adalah pemenuhan kebutuhan melalui produksi lokal.
Sistem pertanian berbasis kearifan lokal, adanya demokratisasi petani dan pasar yang berkeadilan, tanpa campur tangan dan penguasaan korporasi. (Azisoko).