Janji Politik vs Politik Janji

Kamis 14 Sep 2023, 05:24 WIB
Kopi Pagi Harmoko. (Poskota)

Kopi Pagi Harmoko. (Poskota)

“Menjadi tugas para elite politik untuk senantiasa menyeimbangkan janji
politik dengan politik janji. Jangan mengobral janji, jika tidak punya
kemampuan untuk menepati.Jangan pula menjadikan janji hanya penuntut
tanggung jawab moral..”
-Harmoko-

 
Beragam janji mulai ditebar para elite politik menjelang gelaran pileg dan
pilpres 2024, sering disebut sebagai janji politik.

Terpantau, janji yang disampaikan tidak lagi bersifat makro memajukan bangsa
dan negara, memperbaiki kehidupan masyarakat Indonesia. Tetapi lebih
spesifik, sebut saja mengenai kebijakan apa yang bakal ditempuh untuk
memerangi kemiskinan, meningkatkan taraf kehidupan masyarakat desa.

Tentu, langkah itu akan dilakukan setelah pihaknya terpilih sebagai pemimpin
bangsa melalui pileg ataupun pilpres.

Itulah sebabnya, janji politik lazimnya dilakukan oleh para calon pemimpin,
meski bisa juga oleh mereka yang sudah menjadi pemimpin.

Apakah janji seperti ini salah? Jawabnya tidaklah salah. Bahkan, dalam dunia
politik, dalam negara demokrasi, janji politik itu diperlukan untuk mengukur
sejauh mana tingkat keberhasilan seorang pejabat – pemimpin dalam
memperjuangkan aspirasi rakyat.

Janji politik bisa menjadi arah dan panduan dalam mengejar target dan sasaran
setelah mendapat mandat dari rakyat. Sebagai bentuk pertanggungjawaban
pelaksanaan kekuasaan yang demokratis untuk rakyat.

Dalam sebuah negara demokrasi, sangatlah tegas bahwa kekuasaan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dari rakyat sudah jelas, pejabat terpilih berasal dari rakyat. Oleh rakyat juga
fakta adanya bahwa mereka yang menjadi pemimpin karena dipilih oleh rakyat.
Nah! untuk rakyat ini yang masih perlu diuji bersama. Janji politik bisa
dijadikan indikator untuk menguji apakah jabatan dan kekuasaan yang
dimilikinya dipergunakan untuk sebaik – baiknya demi kepentingan rakyat.
Apakah  ada upaya sungguh – sungguh dengan kekuasaan yang dipunyai
kemudian menelorkan kebijakan yang diarahkan untuk memenuhi janjinya
kepada rakyat.

Ingat! Para pejabat dipilih oleh rakyat yang percaya terhadap apa yang
dijanjikan. Karenanya menjadi kewajiban bagi pejabat terpilih melakukan
pengambilan keputusan yang senantiasa diarahkan untuk memenuhi janjinya
kepada rakyat.

Itulah yang disebut politik janji. Proses pengambilan keputusan untuk
 menentukan janji politik mana yang bisa disegerakan, dituntaskan, atau
dikerjakan melalui proses pentahapan sesuai dengan kapasitas yang tersedia.
Politik janji wajib dijalankan untuk memenuhi janji politik. Keduanya
hendaknya dijalankan dengan penuh keselarasan, bukan berat sebelah, bukan
pula saling berlawanan.

Politik janji sangat jauh menyimpang dari janji politik, atau mengabaikan janji
politik. Boleh jadi tidak bermaksud melupakan, tetapi karena kapasitas  dan
berbagai keadaan, politik janji tidak mampu mengcover janji politik yang
berlebihan.

Jika sudah demikian, munculah apa yang disebut ingkar janji. Janji palsu,
pembual, tukang janji, pengobral janji, tak satu pun ditepati. Janji kampanye
hanya pemanis bibir belaka, bagaikan umpan di kail, setelah dapat ikan,
dilempar begitu saja.

Pesta demokrasi yang diagung – agungkan hanya memenuhi dua kriteria dasar,
yakni dari rakyat, oleh rakyat. Sementara bagian untuk rakyat tidak jelas
kriterianya. Entah untuk rakyat siapa dan yang mana.

Agar tidak terjerat kepada predikat janji palsu, perlu kehati – hatian para elite
politik dan calon pejabat di level manapun dalam memberikan janji.
Buatlah janji yang logis dan realistis sesuai kemampuan dan kapasitasnya untuk
dapat direalisasikan. Buatlah janji politik dengan akal sehat, agar politik janji
dapat dijalankan dengan cepat dan akurat.

Jangan membuat janji yang mengawang - awang, di luar batas kemampuan
hanya karena ingin dapat sanjungan dan pujian, tetapi pada akhirnya
menyesatkan.

Menjadi tugas para elite politik yang ikut kontestasi pada pemilu tahun depan,
untuk menyeimbangkan antara janji politik dengan politik janji. Jangan
mengobral janji, jika tidak punya kemampuan untuk menepati.

Jangan menjadikan janji hanya penuntut tanggung jawab moral, tetapi
memenuhi janji adalah sebuah kewajiban, seperti dikatakan Pak Harmoko
dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Siapa pun hendaknya memiliki kesadaran diri bahwa tidak memenuhi janji
adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri.

Filosofi Jawa mengatakan ”Ajining diri dumunung ing kedhaling lathi”
Bernilai tidaknya seseorang manusia dapat diukur dari ucapan yang keluar dari
mulutnya. Apa yang telah dikatakan.

Bagi seorang ksatria, mengaku dirinya sebagai pejuang bangsa, yang berbudi
pekerti luhur, tidak akan omdo (omong doang), tetapi menepati apa yang telah
diucapkan. (Azisoko)

News Update