“Perlu mengemas komunikasi politik yang membangun, bukan merusak. Komunikasi sambung rasa yang menyembulkan rasa empati, bukan antipati. Komunikasi yang menebarkan kasih sayang, bukan kebencian, bukan pula permusuhan.”
-Harmoko-
Demokrasi di negeri kita berkembang begitu pesat.Kita juga patut bangga karena Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat dan India. Namun, soal kualitas demokrasi, sepertinya kita masih perlu berbenah.
Hakikat demokrasi untuk melahirkan pemimpin – pemimpin terbaik di semua tingkatan masih perlu menjadi perhatian. Baik yang digelar melalui pilpres, pileg, pilkada hingga di level terbawah, pilkades.
Satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah pelaksanaan pesta demokrasi sebagai hakikat pelaksanaan hak –hak politik rakyat, selaku pemegang kedaulatan.
Indeks demokrasi, lazimnya, dihitung berdasarkan lima indikator, yakni proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik dan kebebasan sipil.
Proses pemilu yang tidak mencerminkan asas jurdil, transparansi dan kebebasan dalam menentukan pilihan, tentu akan mengurangi indeks demokrasi. Begitu juga budaya politik yang tidak mengakar pada budaya bangsa dan menyimpang dari sistem demokrasi yang kita anut.
Budaya politik yang antikritik, adanya pemaksaan kehendak, merebaknya politik uang serta masih lemahnya partisipasi politik warga, akan menurunkan kualitas demokrasi. Bisa disebut cacat demokrasi (flawed democracy) dalam konteks peringkat indeks demokrasi - kualitas demokrasi, bukan legalitas demokrasi.
Sementara kita tahu, kualitas demokrasi akan mempengaruhi tingkat kepercayaan dan optimisme masyarakat terhadap para pemimpinnya, pemimpin yang dihasilkan oleh pemilu.
Bicara kualitas demokrasi, tentu tak bisa melepaskan diri dari budaya dan jati diri bangsa. Maknanya demokrasi yang mampu mengakomodir beragamnya kepentingan dan aspirasi masyarakat yang multietnis, agama, bahasa dan adat budaya.
Demokrasi yang semakin memperkokoh bangunan NKRI berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945. Artinya demokrasi yang menyatukan, bukan memisahkan. Demokrasi yang mampu menyelaraskan perbedaan, bukan mempertentangkan.
Demokrasi yang melindungi, mengayomi, bukan menakut-nakuti. Demokrasi yang menyejukkan, bukan memanaskan, lebih-lebih jelang gelaran pemilu, sangat diperlukan situasi yang kondusif.
Budaya politik yang dikembangkan, bukan antikritik, tetapi ramah kritik. Mengemas komunikasi politik yang membangun, bukan merusak. Komunikasi sambung rasa yang menyembulkan rasa empati, bukan antipati.
Komunikasi yang menebarkan kasih sayang, bukan kebencian, bukan pula permusuhan seperti acap dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Komunikasi yang sejuk, santun, bijak, rendah hati, sebagaimana ajaran leluhur ambeg utomo, andhap asor (menjadi yang utama, tetapi selalu rendah hati).
Meski memiliki kehebatan, sebut saja memiliki sejumlah kemampuan (kesaktian, kekuatan dan kepintaran), tetapi tidak lantas menjadi sombong, bersikap adigang, adigung, adiguno.
Lebih konkret lagi, di tahun politik ini hendaknya kita semua, para kandidat pejabat publik untuk senantiasa berbicara baik, bertutur kata, bersikap dan berperilaku baik.
Dari yang buruk berubah menjadi baik. Dari yang kurang baik menjadi baik, yang sudah baik menjadi lebih baik lagi. Itulah makna hijrah, begitu pun jika hendak dikaitkan dengan Tahun Baru Hijriyah 1445.
Politik hijrah, berarti melakukan praktik politik dengan penuh kebaikan, menjadikan pesta demokrasi lebih berkualitas sehingga tingkat kepercayaan publik semakin kuat.
Hijrah politik dengan mengemas politik merangkul, bukan memukul. Saling menguatkan, bukan saling melemahkan.Menghargai perbedaan, bukan memonopoli kebenaran. Kalaupun terjadi perbedaan dikemas dengan argumentatif, bukan provokatif. Ini semua demi mengukuhkan, bukan meruntuhkan. Itulah ciri khas demokrasi yang berlandaskan kepada falsafah bangsa kita, Pancasila.
Yang lebih dibutuhkan sekarang adalah politik menawarkan solusi, bukan sebatas mengumbar janji.
Mari berkompetisi dalam demokrasi secara sehat, penuh dengan kebaikan, bukan berlomba saling menjatuhkan. (Azisoko)