Budaya politik yang dikembangkan, bukan antikritik, tetapi ramah kritik. Mengemas komunikasi politik yang membangun, bukan merusak. Komunikasi sambung rasa yang menyembulkan rasa empati, bukan antipati.
Komunikasi yang menebarkan kasih sayang, bukan kebencian, bukan pula permusuhan seperti acap dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Komunikasi yang sejuk, santun, bijak, rendah hati, sebagaimana ajaran leluhur ambeg utomo, andhap asor (menjadi yang utama, tetapi selalu rendah hati).
Meski memiliki kehebatan, sebut saja memiliki sejumlah kemampuan (kesaktian, kekuatan dan kepintaran), tetapi tidak lantas menjadi sombong, bersikap adigang, adigung, adiguno.
Lebih konkret lagi, di tahun politik ini hendaknya kita semua, para kandidat pejabat publik untuk senantiasa berbicara baik, bertutur kata, bersikap dan berperilaku baik.
Dari yang buruk berubah menjadi baik. Dari yang kurang baik menjadi baik, yang sudah baik menjadi lebih baik lagi. Itulah makna hijrah, begitu pun jika hendak dikaitkan dengan Tahun Baru Hijriyah 1445.
Politik hijrah, berarti melakukan praktik politik dengan penuh kebaikan, menjadikan pesta demokrasi lebih berkualitas sehingga tingkat kepercayaan publik semakin kuat.
Hijrah politik dengan mengemas politik merangkul, bukan memukul. Saling menguatkan, bukan saling melemahkan.Menghargai perbedaan, bukan memonopoli kebenaran. Kalaupun terjadi perbedaan dikemas dengan argumentatif, bukan provokatif. Ini semua demi mengukuhkan, bukan meruntuhkan. Itulah ciri khas demokrasi yang berlandaskan kepada falsafah bangsa kita, Pancasila.
Yang lebih dibutuhkan sekarang adalah politik menawarkan solusi, bukan sebatas mengumbar janji.
Mari berkompetisi dalam demokrasi secara sehat, penuh dengan kebaikan, bukan berlomba saling menjatuhkan. (Azisoko)