Kopi Pagi Harmoko oleh: Azisoko

Kopi Pagi

Kopi Pagi Harmoko: Politik Etis

Senin 17 Jul 2023, 05:00 WIB

“Perlu kehadiran politisi etis, yang tak sebatas memegang prinsip etika dan moral, juga menjunjung tinggi keterbukaan, kejujuran dan keadilan. Bukan saja  memiliki integritas dan akuntabilitas, juga bersemayam rasa empati dan peduli kepada rakyat,”
-Harmoko-

Kita bangga dengan kehidupan demokrasi yang disebut lebih baik dari negara tetangga. Bahkan, acap disebut sejajar dengan kemampuannya demokrasi di atas bumi, Amerika. Tetapi akan menjadi lebih bangga, jika dibarengi dengan peningkatan kualitas praktik demokrasi itu sendiri.

Meski dengan pemilu sistem terbuka membuka peluang lahirnya demokrasi transaksional, tetapi bukan lantas membiarkan dengan alasan risiko dari sebuah sistem. Tetap harus dicegah agar tidak merambah dalam setiap gelaran kontestasi hingga level terbawah, pemilihan kepala desa. 

Dalam tiga kali pemilu dengan sistem terbuka, tahun 2009, 2014 dan 2019, ditelisik politik transaksional cukup marak. Untuk mendapatkan kursi di legislatif, caleg perlu mengeluarkan uang hingga miliaran rupiah. Mulai dari biaya kampanye, saksi dan lain – lain, termasuk kemungkinan jual beli suara.

Ini berdampak kepada persaingan antar caleg banyak didominasi oleh kekuatan finansial. Suburnya politik transaksional membuat para pemilih tidak lagi mengutamakan kualitas dan kapabilitas caleg., tetapi lebih kepada mengkalkulasi karena tawaran transaksi. Wani piro? Maraknya politik transaksional akan mengikis idealisme dan komitmen politik sebagai sarana perjuangan mewujudkan aspirasi rakyat, demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat.

Di sisi lain patut menjadi pertanyaan, uang yang digunakan untuk transaksi didapatkan dari mana? Apakah begitu banyak orang merelakan uangnya dihamburkan, lalu bekerja untuk rakyat, mesk uangnya tidak kembali. Renungan bagi kita semua.

Lantas apa yang harus diperbuat agar kualitas demokrasi semakin meningkat.
Politik etis menjadi satu solusi, tetapi tidak mudah menjalankannya, tidak semudah ketika memaparkan konsep dan teori. Mengingat politik etis, menekankan kepada prinsip moral dan etika dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik.

Sementara kita tahu, acap soal etis dan tidak etis, terkalahkan dengan kepentingan dan target politik untuk meraih kemenangan. Menjadi pergolakan batin, kalau selalu berdasarkan kepada etika dan moral, lantas kapan bisa melakukan manuver kepada lawan politik, yang juga tidak mengandalkan etika dan moral sebagai modal untuk meraih dukungan dan kemenangan.

Di sisi lain, menabrak etik dan moral dinilai bukanlah pelanggaran yang berdampak kepada sanksi hukum. 

Dampak buruk yang didapat adalah sanksi sosial, yang mengacu kepada norma sosial. Misalnya berupa cibiran, cemoohan ataupun gunjingan, tetapi tidak akan membatalkan keputusan, tindakan atau kebijakan politik, meski untuk publik.
Meski begitu, patut diingat bahwa stigma yang mencuat ke publik, apalagi sudah menjadi fenomena, dapat melunturkan empati dan simpati publik, lebih konkretnya erosi kepercayaan publik kepada kekuasaan, setidaknya mereka sebagai pengambil kebijakan.

Di sinilah perlunya kehadiran politisi etis, yang tak sebatas memegang prinsip etik dan moral, juga menjunjung tinggi keterbukaan, kejujuran dan keadilan.
Bukan saja sosok yang berintegritas dan memiliki akuntabilitas, juga bersemayam rasa empati dan peduli, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Terbuka, dalam arti menyampaikan informasi secara akurat dan jujur kepada publik. Tidak menutupi atau menutup- nutupi kekurangan, demi pencitraan. Jika menutupi, berarti ada pembohongan publik yang berakibat munculnya konflik kepentingan. Padahal, politik etis, wajib menghindari terjadinya konflik kepentingan.

Politisi disebut etis, jika berkomitmen memperlakukan semua warga negara dengan adil dan setara.Tidak boleh memihak golongan tertentu, menggunkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, kerabatnya. Apakah itu kerabat karena pertemanan, permodalan atau hubungan keluarga.
Hendaknya keadilan menjadi prinsip yang mendasari pengambilan keputusan tindakan.

Sikap empati dan peduli kepada kebutuhan dan kepentingan rakyat hendaknya menjadi landasan dalam mengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan, bukan hanya rakyat yang dulu mendukungnya.

Kalau itu yang terjadi, bukan keadilan namanya, bukan pula kesetaraan, tetapi  penumpukan kekuasaan dan kesejahteraan pada sekelompok orang. Dampaknya kesenjangan kian melebar karena tiadanya kesetaraan dalam perlindungan hak asasi, hak sipil, politik, ekonomi dan sosial.

Adil bukan berarti sama rata. Dikatakan adil jika menempatkan segala sesuatunya sesuai tempat dan porsi kemampuannya serta memberikan sesuatu kepada orang yang berhak menerimanya. Berarti tidak ada keberpihakan, tidak mengambil atau mengurangi hak orang lain, dan tidak berlaku zalim, tidak menindas dan tidak pula sewenang – wenang. (Azisoko)
 

Tags:
politik etispolitisiPolitikKopi pagi Harmoko

Administrator

Reporter

Novriadji

Editor