BLUSUKAN kembali menjadi tren setiap menjelang pilpres, pileg ataupun pilkada.
Yang melakukan blusukan, tentu para kandidat pejabat publik, mulai dari caleg, calon kepala daerah hingga capres.
Tak berlebihan sekiranya ada yang menilai bahwa blusukan itu menjadi budaya lima tahunan.
"Lantas selama ini kemana aja?" tanya Heri kepada sohibnya mas Bro dan Yudi, mengawali obrolan warteg, obrolan rakyat kecil sambil menyantap nikmatnya masakan warteg.
Bukan cuma nikmat rasanya, juga harganya yang murah meriah.
"Kalau ditanya selama ini kemana saja, jawabnya ya melaksanakan tugas rutin sebagaimana profesinya. Bisa sebagai pengusaha, wakil rakyat atau kepala daerah," jawab Yudi.
"Tetapi kalau pertanyaannya, kenapa blusukan baru intens dilakukan jelang pemilu?. Jawabnya bisa beragam. Lebih tepatnya ditanyakan langsung kepada yang melakukan blusukan, kenapa bisa begitu?" tambah mas Bro.
"Tak perlu sejauh itu. Forum ini sebatas obrolan warteg. Obrolan yang dirasakan oleh kita-kita ini, yang kadang makan di warteg aja ngutang," kata Yudi.
"Juga yang kita saksikan, menjadi perbincangan masyarakat luas, perdebatan di kalangan elite politik, termasuk soal blusukan itu" tambah mas Bro.
"Bicara blusukan sebenarnya bukan hal baru. Blusuk berasal dari kata Jawa yang berarti masuk ke suatu tempat untuk mengetahui sesuatu. Dengan blusukan dapat mendengarkan langsung keluhan masyarakat," kata Yudi.
"Itulah sebabnya jika ingin mendengar situasi yang sebenarnya dirasakan rakyat, blusukan menjadi penting dilakukan," kata Heri.
"Tapi blusukan bagi yang sudah menjadi pejabat dengan calon pejabat tentu bisa beda makna dan penafsiran.Apalagi jelang pemilu," kata Yudi.
"Yang pasti blusukan itu baik, blusukan juga tidak dilarang. Siapa pun boleh, termasuk kita ini, bisa blusukan, tapi perlu hati-hati jangan sampai mblusuk atau keblusuk," urai mas Bro. (jokles)