JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangeran Hasanuddin mengancam warga Muhammadiyah dengan kata 'halal darah dan bunuh' lewat komentarnya di postingan Facebook.
Ancaman peneliti BRIN Andi Pangeran sendiri terkait dengan perbedaan penentuan hari raya Idul Fitri PP Muhammadiyah yang berbeda dengan putusan sidang isbat yang digelar Kementerian Agama.
Dalam catatan, peneliti BRIN yang mengancam pembunuhan terhadap warga Muhammadiyah itu tercatat terdaftar sebagai ASN di Badan Riset sejak Februari 2019, dan pada September 2021 menjadi peneliti muda BRIN. Dia merupakan lulusan S1 Teknik Elektro Universitas Diponegoro UNDIP Semarang tahun 2015.
Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel, ikut berkomentar perihal ancaman peneliti BRIN terhadap warga Muhammadiyah tersebur. Menurut dia, ada dua hal yang harus diperhatikan dalam kasus ini.
Pertama publik dalam tanda petik, boleh memilih apakah akan menyikapinya sebagai sebuah narasi singkat yang ditulis di media sosial dan hanya menganggap sebagai candaan atau perilaku inklusif belaka.
Ataukah yang kedua, publik memilih untuk menyikapinya dengan mengambil pelajaran dari sekian banyak pembunuhan di terutama sekali di Amerika Serikat yang didahului dengan adanya pengancaman lewat media sosial.
Kata Reza, di AS, bukan satu, dua, atau tiga kali adanya kasus pembunuhan berawal lewat sosial media. Melainkan, sudah ada belasan jiwa bahkan puluhan jiwa dilakukan di tempat umum, dilakukan di sekolah terhadap guru, siswa, dan seterusnya, dan ternyata dilakukan oleh pembunuh yang sebelumnya sudah mengirim ancaman lebih dahulu lewat media sosial termasuk Facebook.
"Nah kita terutama sekali otoritas penegakan hukum, mari kita bijak memilih sekali lagi, kita akan sikapinya secara sambil lalu saja melupakannya, memaafkannya saja, atau menyikapinya serius sebagai tanda-tanda adanya ancaman yang sangat nyata terhadap mereka-mereka yang ditargetkan sebagai ancaman pembunuhan itu," kata Reza Indragiri di Crosscheck, disitat Rabu 26 April 2023.
Jika ditanya apakah peneliti BRIN itu berniat serius membunuh atau tidak, Reza Indragiri menyoroti kalimat berikutnya perihal tantangan agar ancaman itu silakan dilaporkan ke Polisi.
"Kaitkan kalimat itu dengan kalimat berikutnya, bahwa laporkan saja ke Polisi dan seterusnya. Jadi saya tidak akan menganggap itu sekali lagi sebagai sebuah tanda tanya yang mentah, tapi merupakan tanda tanya yang merupakan gaya tantangan," katanya.
Di kesempatan itu, Reza Indragiri ingin mengatakan bahwa publik juga harus melihat dan bagaimana harus menyikapinya. Apakah sebagai rencana pembunuhan biasa saja, atau harus menyikapinya sebagai kejahatan yang dilatarbelakangi oleh kebencian.
Karena pembunuhan yang diancamkan ternyata tidak ditujukan kepada orang per orang, melainkan terhadap kelompok.
"Maksudnya kita harus sikapi secara serius, lebih serius lagi, sesungguhnya apabila ancaman pembunuhan itu juga dikemas dalam bentuk kejahatan yang dilatarbelakangi oleh kebencian," katanya.
Apalagi ancaman pembunuhan itu sudah disebar lewat media sosial dengan target yang sangat jelas, spesifik, identitas yang sudah ditentukan, siapa saja yang akan dihabisi. Dirinya enggan untuk menyikapi masalah ini dengan keseriusan yang bertolak ukur pada angka.
"Tetapi bahwa adanya ancaman yang mengakibatkan orang meninggal dunia dan ditujukan kepada kelompok dengan identitas tertentu, menurut saya ini sudah tergolong sebagai kejahatan yang harus disikapi secara serius," kata Reza.
Reza lebih jauh merasa tak cukup jika peneliti BRIN Andi Pangeran meminta maaf terhadap warga Muhammadiyah saja soal ancaman tersebut.
Baginya, harus ada catatan kriminal record, di mana bahan ini bisa digunakan untuk di kemudian hari kalau beliau kembali melakukan tindakan bermasalah. Dengan begitu, maka yang bersangkutan, kata dia, patut untuk disebut sebagai residivis alias mengulangi perbuatan pidana.
Penilaian tentang residivisme tidak ditentukan semata-mata berdasarkan berapa kali seseorang keluar masuk penjara, tetapi ketika seseorang dipanggil oleh Polisi, menjalani pemeriksaan, lebih-lebih lagi kemudian ditahan, maka dua proses itu bisa dijadikan sebagai tolak ukur untuk menyatakan seseorang adalah residivis.
"Kalau ternyata begitu, bisa disebut residivis juga," kata Reza soal ancaman peneliti BRIN terhadap warga Muhammadiyah.