Dalam tahun politik ini, bantuan semacam itu, membagi-bagikan sembako dan uang, dengan berharap imbalan, bisa tergolong money politic.
Disinilah perlunya keteladanan pejabat publik, elite politik bahwa memberi bantuan atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai pejabat negara atau wakil rakyat.
Pemberian, apapun bentuknya, sebagai upaya meringankan beban hidup yang kian berat, lebih-lebih menghadapi bulan puasa dan lebaran.
Bulan yang, lazimnya, disebut sebagai bulan kenaikan harga.
Tak berlebihan kiranya, aksi sosial seperti ini, menolong orang lain tanpa berharap imbalan, lebih pas dikatakan “saling berbagi”, ketimbang disebut pemberian bantuan.
Kegiatan kemanusiaan sejatinya telah lama diajarkan dan diterapkan oleh para leluhur kita yang kemudian dikristalisasi oleh para pendiri negeri dalam falsafah bangsa sebagai pedoman hidup.
Dalam pepatah Jawa dikenal "Sepi ing pamrih, rame ing gawe" artinya tidak berharap pamrih (pengharapan/ penghargaan), meski ramai dalam pekerjaan/kegiatan.
Arti yang tersirat adalah anjuran agar setiap orang yang hendak menolong orang lain, lakukanlah dengan ikhlas tanpa berharap apa pun baik berupa pujian, sanjungan, pengakuan, imbalan materi atau balas jasa.
Sering dikatakan, gemar menolong-berbagi dengan sesama merupakan bagian dari kepatuhan terhadap norma sosial yang sudah lama ada karena begitu besar manfaatnya.
Jika kemudian kepatuhan terhadap norma sosial itu kian meluntur seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, sepantasnya menjadi bahan kajian.
Bukan serta menolak kemajuan.
Kalaupun kepatuhan terhadap norma ini, kemudian terselipi kehendak lain, adanya kepentingan politik tertentu, seperti meraih simpati jelang pemilu, demi meraih kemenangan, hanya dinilai sebagai pelanggaran etika, bukan masuk kategori pelanggaran hukum.