“Sangat tidak berperasaan, di saat orang lain sedang terbelit kesulitan ekonomi, malah menebar kemewahan seolah ikut menertawakan yang pada akhirnya dapat memperlebar jurang kesenjangan sosial.”
-Harmoko-
Gaya hidup mewah, hedon, belakangan kian menjadi sorotan. Ini lebih menyangkut kepada etika dan adab budaya, lebih – lebih pada situasi ekonomi dunia yang masih diwarnai awan gelap, di tengah beragam ancaman krisis, termasuk negeri kita.
Hidup mewah memang tidaklah dilarang. Memiliki rumah megah, mobil, tas, sepatu dan jam tangan mewah, tidaklah salah.Yang salah, jika semua yang dilakukan itu menjadi tujuan utama hidupnya, apalagi, untuk memperolehnya dengan menghalalkan segala cara.
Pada situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian, di saat beban ekonomi keluarga yang semakin berat, utamanya masyarakat kurang mampu, rasanya tidak etis mempertontonkan kemewahan di ruang ruang publik. Ini tak ubahnya pamer kemewahan di tengah penderitaan, yang dapat memperlebar jurang kesenjangan.
Menjadi ironi, jika yang memamerkan kemewahan itu adalah keluarga pejabat, yang semestinya meneladani pola hidup sederhana dalam kehidupan bermasyarakat.
Pola hidup sederhana, tak sebatas ajaran etika, tetapi nilai – nilai luhur budaya bangsa yang hendaknya diamalkan dalam kehidupan sehari – hari.
Begitu pentingnya perilaku sederhana, maka para pendiri negeri ini menyarikannya ke dalam falsafah bangsa kita, Pancasila, agar menjadi tuntunan sepanjang masa.
Anjuran agar tidak boros dan tidak bergaya hidup mewah seperti dirumuskan dalam butir- butir sila kelima Pancasila, merupakan cerminan dari pola hidup sederhana sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Membeli barang – barang mewah, sebatas gengsi, untuk dipamerkan di media sosial, sementara barang itu sendiri sejatinya tidak dibutuhkan dalam hidupnya, hanya ditumpuk dalam lemari. Inilah yang disebut tidak berperilaku hidup sederhana, tetapi cenderung boros dan bergaya hidup mewah.
Memprihatinkan jika gaya hidup seperti ini dipelopori oleh keluarga dan pejabat negeri. Ini jelas tak selaras dengan nilai – nilai luhur falsafah bangsa, Pancasila karena dapat menebarkan embrio munculnya kecemburuan sosial.
Lantas bagaimana dengan revolusi mental yang selama ini digalakkan? Jawabnya bisa beragam, tetapi revolusi mental sepertinya belum sepenuhnya mencapai target sebagaimana diharapkan.
Jika kondisi seperti ini terus berlanjut, akan semakin jauh dari kemakmuran dan keadilan sosial, jauh dari cita – cita negeri ini didirikan.