Pengalaman telah membuktikan lemahnya sikap tenggang rasa, saling menghargai dan menghormati dalam berkompetisi, menyisakan masyarakat yang terbelah dalam dua kubu utama.
Proses politik Pemilu 2019 bisa menjadi rujukan.
Cukup beralasan, jika para leluhur kita selalu menasehatkan pentingnya sikap tepo seliro.
Para pendiri dan pemimpin negeri ini menempatkan kata tenggang rasa dalam butir-butir pengamalan Pancasila.
Dalam filosofi Jawa menempatkan tepo seliro atau tenggang rasa merupakan salah satu ajaran laku hidup yang penting sebagai modal dasar berhubungan dengan orang lain, bersosialisasi.
Tidak peduli sebanyak apapun titel yang disandang atau sehebat apapun jabatan yang dimiliki dalam institusi dan komunitas apapun, penting bagi masing-masing menjaga perasaan orang lain.
Tidak menyinggung dan melukai hati orang lain, baik dalam ucapan, gerak tubuh (body language) maupun perilaku yang dipertontonkan di muka umum.
Ironi, jika dalam kontestasi, perasaan benci, menyakiti dan melukai hati orang lain, lawan politiknya seolah diumbar di uang publik.
Makin aneh, jika perilaku semacam itu dipertontonkan oleh elite politik, tokoh penting dan berpengaruh di negeri ini.
Tokoh yang semestinya berdiri paling depan meneladani pengamalan sikap tenggang rasa sebagai nilai- nilai luhur budaya bangsa, dalam situasi apa pun, kapan pun dan di mana pun.
Patut disadari bahwa tenggang rasa tak hanya diperlukan dalam hubungan keluarga, sesama saudara kerabat yang berbeda wataknya, melainkan diperlukan dalam bertetangga.
Lebih luas lagi, juga dalam bersosial, berpolitik praktis, beragama dan sektor kehidupan lainnya, tenggang rasa kian dibutuhkan perannya.