Dimana, jejaring kekuasaan yang dimiliki digunakan untuk memperkaya keluarganya, kerabatnya, dengan memudahkan dan meloloskan proyek yang dikehendaki.
Kesempatan menjadi tidak merata karena keuntungan akan didapat pihak yang memiliki hubungan dengan pemangku kekuasaan dan pengambil kebijakan.
Jika sudah demikian, dinasti politik berdampak kepada mundurnya
pembangunan dan pelayanan publik.
Mengapa? Semua aktor (kelompok dinasti) baik dalam dan luar pemerintahan mendapat jatah dan akses ke kekuasaan.
Kondisi seperti ini akan mengaburkan dan meniadakan fungsi checks and balances.
Sementara lemahnya fungsi pengawasan dapat membuka peluang merebaknya KKN.
Dinasti politik bukan hanya di Indonesia, juga di belahan dunia lain. Di Amerika Serikat, ada Kennedy, Bush, Aquino. Gandhi dan Nehru di India.
Di negeri kita tradisi dinasti politik sebelum Indonesia merdeka, saat pemerintahan berbentuk kerajaan yang menganut patrimonialisme.
Raja digantikan oleh putra mahkotanya secara turun temurun. Raja memiliki hak mutlak dalam mengendalikan pemerintahan, tanpa ada yang berani mengganggu gugat atas kebijakan yang digulirkan.
Tetapi fakta sejarah, tak sedikit raja yang bijaksana, mengabdi demi negara dan memakmurkan rakyatnya menjadi tujuan utama.
Kebijakanyang diterapkan semata demi kepentingan negeri dan rakyatnya, bukan semata bagi kerabatnya.
Kalaupun melanggengkan kekuasaan, adalah kekuasaan untuk melindungi rakyatnya, bukan kelompok dinastinya.
Sebut saja Raja Balaputradewa yang memimpin Kerajaan Sriwijaya, Sultan Agung (Kerajaan Mataram), Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit) dan masih banyak lagi keturunannya yang sukses sebagai pemimpin yang patut diteladani oleh para pemimpin era kini.