“Semakin dituntut kesadaran untuk saling menghargai guna meredam dan menyingkirkan perbedaan. Dengan kesadaran yang tinggi, apapun bentuk perbedaan akan dapat disatukan dengan sikap toleransi dan saling menghargai,” -Harmoko-
Kita telah memasuki Tahun 2023, tahun politik yang serbaneka, karena akan memunculkan bermacam kelompok dukungan, beraneka kelompok simpatisan dan sukarelawan, serta beragamnya aspirasi, juga antipati.Semuanya akan berujung kepada semakin menyeruaknya perbedaan pendapat sebagai embrio kian menipisnya tingkatan toleransi.
Padahal kita tahu menghargai perbedaan adalah esensi toleransi sebagaimana diajarkan para leluhur dari masa ke masa yang kemudian terpatri dalam nilai – nilai Pancasila.
Masa kini yang sedang kita jalani memang tidak lepas dari masa lalu yang bukan lagi milik kita, karena sudah terlewati. Begitupun masa depan, kita tidak akan tahu pasti apa yang bakal terjadi.
Para pejuang kemerdekaan, pendiri negeri memang mengingatkan kepada kita agar melihat masa lalu sebagai sejarah. Dengan belajar dari masa lalu berarti kita belajar dari pengalaman yang sudah terjadi sebagai pijakan untuk masa depan. Maknanya, belajar sejarah pengalaman masa lalu, bukan berarti kita kembali kepada masa lalu.
Kita harus menyikapinya bahwa masa lalu menjadi nasehat, masa kini adalah perjuangan dan masa depan adalah harapan. Ini sejalan anjuran bahwa tujuan hidup adalah menghapus masa lalu, mengubah masa kini dan menata masa depan.
Berarti fokus kepada masa sekarang, yang sedang kita jalani guna menata masa depan. Saatnya sekarang kita harus berbuat, tentu untuk kebaikan, bukan keburukan. Untuk kemajuan, bukan kemunduran.
Dan, ingat! apa yang kita tabur, itulah yang akan kita tuai, nikmati hasilnya. Pitutur luhur mengajarkan “ Ngunduh wohing pakarti” - apa yang kita lakukan akan membuahkan hasil yang sepadan. Kehidupan manusia, baik dan buruk akibat perbuatan manusia itu sendiri. Siapa yang berbuat pasti akan menerima hasilnya. Itulah petuah leluhur.
Pertanyaan kemudian apa yang akan kita perbuat sekarang agar hasilnya tidak menimbulkan keburukan, kegaduhan dan kerugian bagi diri sendiri, dan masyarakat. Lebih luas lagi, bagi kehidupan bangsa dan negara.
Di awal tulisan ini, saya sampaikan bahwa perbedaan akan semakin mengkristal dan masif. Jika tidak dikelola dengan baik, dapat menimbulkan pembelahan sosial yang dapat mengganggu stabilitas. Sementara, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi tahun ini, akan banyak dipengaruhi oleh stabilitas di bidang politik.
Kuncinya ada pada bagaimana menghargai perbedaan di tengah perbedaan yang semakin meruak karena beda pilihan dan aspirasi politiknya.
Sejatinya manusia dilahirkan sudah dalam perbedaan, si kembar pun meski secara fisik sangat mirip, tetapi terdapat perbedaan, apalagi yang non fisik. Ini sebuah petunjuk perlunya kita menghargai perbedaan.
Sejarah perjuangan bangsa pun telah menyadarkan kepada kita bahwa negeri ini telah teruji bahwa keberagaman dan perbedaan bukan sebagai penghalang, tetapi menjadi persatuan perjuangan mengusir penjajah hingga terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Hendaknya menjadi renungan bersama, mengingat belakangan ini makin menguatnya ego kelompok yang berakibat kepada munculnya embrio perbedaan yang berujung kepada pembelahan.
Kembali dituntut kesadaran untuk saling menghargai guna meredam dan menyingkirkan perbedaan. Dengan kesadaran yang tinggi, apapun bentuk perbedaan akan dapat disatukan oleh sikap toleransi dan saling menghargai seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Menghargai orang lain akan menumbuhkan pemikiran yang positif. Menjadikan ketenangan dalam hidup seperti petuah hidup ”Urip ojo mung mburu seneng, nanging mburuo ayem” – hidup itu jangan hanya memburu kesenangan semata, tetapi ketenangan dan kenyaman jiwa.
Dengan menghargai orang lain, setidaknya akan menempa diri menjadi orang bermartabat. Semakin mampu mengontrol diri dengan baik, menghilangkan ego pribadi, memupus prasangka buruk dan lebih bertanggung jawab.
Cobalah bersikap ramah, adil, tidak memihak, tidak menghina, tidak menjelek - jelekkan orang lain. Minta maaf jika salah, bila perlu terlebih dahulu meminta maaf sebelum dimaafkan. Hendaknya saling memaafkan, bukan saling menyalahkan.
Menutup aib, bukan mengorek aib. Menebar kebaikan, bukan menguak keburukan. Mencari teman, bukan menambah lawan. Itulah makna saling menghargai perbedaan. Mari kita mulai. (Azisoko).