JAKARTA, POSKOTA.CO.ID- Kesemrawutan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) hingga ketidaktepatan penerima manfaat sosial menjadi catatan kemunduran kebijakan pemerintah dalam perlindungan sosial di tahun 2022.
Hal itu, sebagaimana disampaikan
Betta Anugrah Peneliti dari Seknas FITRA, dalam acara Diskusi Publik Catatan Akhir Tahun: “Implementasi Kebijakan Perlindungan Sosial untuk Rakyat Miskin”, yang diselenggarakan secara hybrid oleh Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial (KPRS) di Jakarta, kemarin.
SPRI bersama KRPS sejak tahun 2021 hingga tahun 2022 telah berupaya berpartisipasi dalam mengawal dan mengawasi implementasi kebijakan perlindungan sosial khususnya terkait bantuan sosial PKH, BPNT/Kartu sembako serta monitoring pemutkahiran DTKS di lapangan.
Di tahun 2022, pemerintah mengarahkan program perlindungan sosial untuk memperkuat fondasi kesejahteraan masyarakat, mengentaskan kemiskinan dan kerentanan, termasuk memperkuat daya ungkit UMKM dan dunia usaha agar mampu bangkit kembali dan berdaya tahan.
Program perlindungan sosial juga diarahkan untuk mengantisipasi penanganan dampak Covid-19 seperti ditahun sebelumnya.
Dika Muhammad, Sekretaris Nasional SPRI sekaligus Koordinator KRPS menyatakan kegitian Diskusi Publik Catatan Akhir Tahun ini bertujuan untuk mengajak para pelaku yang terlibat dan berkepentingan dalam perencanaan dan implementasi untuk mengurai problem-problem implementasi Kebijakan Perlindungan Sosial untuk Rakyat Miskin.
Sementara itu, Puspa Yunita Ketua DPW SPRI DKI Jakarta, menyatakan masih banyak celah dan kekurangan yang terjadi dalam perjalanan program Perlinsos satu tahun ini.
Dalam paparannya, Puspa menyebutkan lima problem yang dihadapi rakyat miskin dalam mengakses berbagai program Perlinsos.
“Pertama problem data dan pemuktahiran yang berimplikasi kepada ketidaktepatan sasaran penerima. Kedua soal pendistribusian, dimana banyak penerima manfaat kartunya tidak dapat digunakan atau istilahnya “Saldo Nol” dan masih ditemukan adanya pungli yang dilakukan oleh oknum-oknum di lapangan. Ketiga soal cakupan penerima dan jumlah bantuan tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Keempat terkait dengan sistem informasi dan pengaduan yang dinilai tidak transparan dan tidak jelas. Kelima soal tidak adanya ruang bagi keterlibatan (partisipasi) warga dalam melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program, sampai dengan menentukan Rumah Tangga Miskin (RTM) yang berhak menerima manfaat program”, terangnya.
Ari Nurman dari Perkumpulan Inisiatif yang turut hadir sebagai narasumber juga menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah untuk lebih berani melakukan berbagai perubahan yang lebih besar agar ada perbaikan kebijakan perlindungan sosial bagi rakyat miskin.
“Pemerintah harus berpikir out of the box dalam memperbaiki berbagai kebijakan Perlinsos. Selama ini rakyat miskin hanya dijadikan objek bukan sebagai subjek atas pembangunan. Selama rakyat hanya menjadi objek, kebijakan perlinsos akan sangat sulit untuk responsif. Oleh karena itu upaya untuk menanggulangi kemiskinan harus bersamaan dengan dan dibarengi usaha untuk mendengar suara orang miskin," jelas Ari.
Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial (KRPS) yang beranggotakan SPRI, IBP, Perkumpulan Inisiatif, Seknas FITRA dan Kotakita menggelar Diskusi Catatan Akhir Tahun Implementasi Kebijakan Perlindungan Sosial untuk Rakyat Miskin.
Kegiatan yang diselenggarakan secara hybrid dihadiri 200 orang peserta dari Asahan (Sumatera Utara), Lampung, Banten, DKI Jakarta, Bogor, Tasikmalaya, Jogjakarta, Mojokerto, Parepare (Sulawesi Selatan) dan Bima (NTB).