"Jangan jadikan adu program menjadi adu domba, adu kekuatan, adu pencitraan, dan menang-menangan yang mengarah kepada kekacauan. Janganlah kompetisi berakhir dengan saling membenci"
-Harmoko-
BEBERAPA hari lagi, kita memasuki tahun 2023 sebagai tahun penuh kompetisi. Tak hanya di bidang politik dalam upaya meraih kekuasaan, juga bagaimana kita berkompetisi menghadapi beragam ancaman dan tantangan, berusaha menaklukan krisis pangan, energi dan keuangan, setidaknya terhindar dari resesi global.
Tahun 2023, tahapan pemilu sudah memasuki pencalonan anggota DPD, anggota DPR, DPRD Kabupaten/Kota. Juga pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Di tahun 2023 itu pula, mulai bulan November, digelar masa kampanye pemilu, baik pilpres maupun pileg.
Dapat diduga, hiruk pikuk kampanye dengan berbagai strategi digelar akan semakin memanaskan situasi dalam berkompetisi.Adu kekuatan dengan menebar slogan akan memenuhi ruang utama publik. Tak hanya di media luar (ruang angkasa) berupa spanduk dan baliho yang terpasang tumpang tindih di sepanjang jalan utama hingga gang-gang di perkampungan.
Perang spanduk akan terjadi di dunia nyata ruang terbuka, sementara perang urat syaraf akan mewarnai dunia maya, lewat media sosial yang dikelola kandidat dan pendukungnya.
Tak heran, jika perang dukungan akan mewarnai dunia digital. Tak pelak, pembelahan dukungan yang kentara di dunia maya, akan berimbas ke dunia nyata.
Ini yang perlu diwaspadai, utamanya sikap bijak kandidat dalam mengelola media sosialnya.Testimoni ataupun pernyataan menyejukkan harus senantiasa di update untuk membangun suasana kondusif, bukan membiarkan kian kontradiktif yang berpotensi melebarnya pembelahan.
Terbentuknya kubu tidak bisa dicegah, yang dicegah adalah antar-kubu dukungan tidak saling menebar kebencian dan permusuhan, seolah yang berdiri di seberang sana adalah lawan yang harus dibinasakan, ditenggelamkan dari persada nusantara.
Ini aneh, logika yang kebalik. Lebih aneh lagi, jika para elite ikut mengompori dengan memberi pernyataan yang cukup merisaukan menambah kurangnya tingkat kepercayaan publik karena mengesankan tidak adanya kepastian dalam merumuskan kebijakan.
Tahapan pemilu sudah berjalan sedemikian rupa, hendaknya semua elite menjaga, mengawalnya hingga proses berikutnya agar semua tahapan berjalan sebagaimana diharapkan hingga menghasilkan pemilu yang jurdil, Pemilu yang legitimated.
Janganlah memberikan pernyataan yang mundur ke belakang, mencederai demokrasi yang dapat memunculkan pertanyaan “Mau dibawa kemana Republik kita ini?”
Jangan kesankan negara ini bagaikan pesawat dengan autopilot. Kita sepakat tidak menggunakan politik adu domba karena dapat memecah belah persatuan, tetapi menjadi ironi, jika sejumlah elite hadir dengan pernyataan dan perilaku yang dapat menggiring ke adu domba.
Demokrasi adalah kompetisi, tetapi bagaimana membangun kompetisi yang sehat dan bertanggung jawab memasuki perhelatan akbar pemilu serentak.
Rakyat sungguh-sungguh memerlukan teladan para elite untuk melakukan kompetisi yang sehat, kampanye bermutu, mudah dipahami,. Jangan jadikan rakyat objek janji kosong dan diadu dengan informasi yang hoax, pembodohan, pengelabuan yang merusak negeri dan generasi kita di masa datang.
Jangan jadikan adu program menjadi adu domba, adu kekuatan, adu pencitraan, ada keberuntungan, dan menang-menangan yang mengarah kepada kekacauan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Jangan pula adu menyerap aspirasi, membangun simpati berubah menjadi saling mencaci, memaki, membenci dan mencurigai dan mengkhianati. Janganlah ajang kompetisi berakhir dengan saling membenci.
Kemeriahan kompetisi, dinamika politik yang terjadi harus tetap mengedepankan aturan main, etika dan moralitas. Bagaikan gelora pertandingan sepak bola (Piala Dunia) yang seakan-akan mampu memecah arena, tidak pernah mengeroyok satu wasit yang bicara dengan peluitnya. Tidak menyerang pemain lawan atau pendukungnya yang sama-sama berada berada di tribun penonton. Itulah sebabnya, rakyat sebagai pemilih, jangan terjebak hasutan dan provokasi, Jangan karena beda “jagoan” terjadi perselisihan, kemudian merusak persaudaraan (paseduluran).
Ingat kita menganut demokrasi Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, agama dan sopan santun. Kita menolak demokrasi yang menghalalkan segala cara. Demokrasi yang memancing konflik dan permusuhan.
Kompetisi berlangsung sehat, jika para kompetitor (para elite) mematuhi aturan main, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi Pancasila, tak terkecuali mengedepankan etika dan moral.
Sejak dulu hingga sekarang, rakyat sangat mendambakan suasana aman dan tertib. Guyub rukun dengan sesama tanpa pembeda. Bukankah filosofi kita “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”. (Azisoko)