“Parpol harus kuat, sehat dan merakyat serta mandiri untuk menjalankan demokrasi Pancasila. Bukan demokrasi penuh intrik, saling hasut, dan adu domba. Bukan pula demokrasi yang dikendalikan oleh kekuatan oligarki.”
-Harmoko-
BELUM surut soal politik identitas, kini meruak oligarki yang ikut mengendalikan penetapan nama-nama capres. Targetnya membangun kekuatan politik dan ekonomi dalam jangka panjang dengan memenangkan capresnya pada pilpres 2024.
Kelompok oligarki inilah yang menyiapkan segala satunya guna memenangkan pertarungan, termasuk kebutuhan peluru dan finansialnya. Oligarki tak jauh beda dengan konglomerasi yang ikut menentukan dalam pengambilan keputusan politik pemerintahan karena telah berjasa menyukseskan perhelatan pilpres dengan “jagonya” yang kini menjadi penguasa.
Aktor oligarki ada yang bergabung langsung dengan parpol kemudian menjadi anggota legislatif. Ada juga yang bergerak di balik layar parpol dan kekuasaan, siap setiap saat mengucurkan modal besar, jika ada kepentingan politik.
Dalam penetapan nama-nama capres, aktor oligarki dan elite politik tentu sangat berkepentingan untuk melanggengkan kekuasaan. Mendukung seseorang menjadi capres, dengan pertimbangan akan menang.
Itulah sebabnya capres yang memiliki potensi menang dengan elektabilitas tinggi, walaupun elektabilitas semu hanya bermodalkan pencitraan di sosial media, akan mendapat banyak dukungan, tidak terkecuali para pemodal besar, yang boleh jadi antre membangun kemitraan dengan menyediakan modal menuju RI-1.
Ini wajar-wajar saja, dalam dunia politik, oligarki akan tetap ada, dan sulit dihindari. Lebih-lebih sejak pemilihan langsung, biaya politik semakin menjadi besar. Tanpa modal besar, jangan harap kandidat dapat meraih peringkat, kecuali figur-figur yang sudah mempunyai popularitas tinggi. Itu pun tetap perlu modal.
Dengan modal tanpa batas para aktor oligarki dapat mengobrak-abrik partai yang tidak sejalan dengan kemauan mereka. Tidak dapat dipungkiri untuk menjalankan roda partai dari tingkat atas sampai paling bawah konon diperlukan sedikitnya Rp 70 Milyar perbulannya. Uang dari mana?
Tak heran jika praktik oligarki akan diterapkan di semua level pemilihan, mulai dari bupati/walikota, gubernur hingga presiden. Kian tinggi jabatan yang hendak dicapai, semakin tinggi ongkos politik yang dikeluarkan.
Dalam setiap pemilihan, kelompok oligarki melalui kepanjangan tangannya, orang-orang kepercayaan, mendesain agar kandidatnya bisa menang sehingga kepentingan ekonomi dan politiknya terlindungi. Begitu juga dalam pilpres yang tentunya membutuhkan logistik.
Terdapat celah kaum borjuis memberikan bantuan logistik, dengan tujuan dapat meluaskan lahan bisnisnya. Tak jarang juga berharap dapat menguasai aset-aset negeri ini. Ini menjadi ancaman di tengah ketidakpastian ekonomi jelang pilpres.
Kelompok oligarki inilah yang nanti akan ikut mengatur jalannya pemerintahan, meski tidak secara struktural, tetapi ikut menentukan pengambilan kebijakan yang menguntungkan mereka. Sementara kepentingan rakyat terabaikan.
Oligarki sering disebut perkawinan antara kaum pemodal dan penguasa, dalam menjalankan pemerintahan. Bisa jadi targetnya mendominasi kekuasaan, aman pula dari gugatan hukum melalui keputusan yang dibuatnya.
Kelompok oligarki menebarkan kekuasaan dengan kemampuan finansialnya melakukan lobi-lobi politik terhadap kandidat dan parpol pendukung, dengan menyediakan modal kerja yang cukup menggiurkan , kadang tanpa batas. Toh nantinya lebih dari impas.
Pemberian modal oleh oligarki tentu dengan persyaratan, tak ubahnya pengijon kepada para petani di desa – desa yang kekurangan modal menggarap sawahnya. Modal diberikan dengan syarat hasil tanam dijual kepada mereka (pemberi modal). Bahkan, pengijon ikut menentukan harga jual jauh sebelum panen sehingga merugikan petani. Pengijon yang makin kaya, petani tetap miskin, lahan pun tergadaikan.
Untuk melawan pengijon, dibentuklah Koperasi Unit Desa (KUD) yang berasaskan kekeluargaan dan gotong royong, bukan bisnis semena - mena.
Lantas bagaimana melawan oligarki? Jawabnya hanya rakyat yang dapat mencegahnya dengan memberikan hak pilihnya sesuai dengan hati nuraninya, bukan karena pencitraan, desakan ataupun jebakan politik.
Hal lain yaitu pelaporan keuangan dan permodalan parpol dibuat secara transparan dan bisa diawasi publik. Pemberian dana kepada parpol oleh Negara harus diperbesar untuk meminimalisir korupsi oleh parpol.
Parpol juga harus dibangun dari akar rumput. Tak hanya soal loyalitas, juga kualitas kehidupan masyarakatnya untuk membangun kemandirian sehingga tidak mudah tergoda oleh politik uang dan janji-janji manis, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Parpol harus kuat, sehat dan merakyat serta mandiri untuk menjalankan demokrasi Pancasila seperti diharapkan. Bukan demokrasi liberal, bukan demokrasi penuh intrik, saling hasut dan hujat, saling fitnah dan adu domba. Bukan pula demokrasi yang dikendalikan kekuatan oligarki.
Mari saling saling asah, asih dan asuh. Singkirkan sikap “Adigang, adigung , adiguno” - selalu mengandalkan kekuatan, kekuasaan dan kepintarannya. Gunakan ketiga kekuatan itu untuk kemaslahatan umat, bukan menyengsarakan rakyat. (Azisoko)