JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Google Doodle hari ini menampilkan sosok pria paruh baya mengenakan peci dan kacamata, serta tampilan gambar halaman buku dan pena buku. Sebagai informasi, sosok tersebut adalah seorang pahlawan nasional bernama Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad.
Sosok Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad adalah seorang pahlawan nasional yang menjadi tokoh penting di dunia Melayu berkat pemikiran dan karya sastranya.
Google Doodle mempersembahkan sosok Raja Ali Haji dalam balutan gambar untuk mengenang sepak terjangnya dan kontribusinya terhadap budaya Melayu dan sejarah Indonesia.
Lalu, siapakah sosok Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad? Berikut ini kisahnya
Biografi singkat Raja Ali Haji
Raja Ali Haji terkenal dengan karya Gurindam Dua Belas, puisi yang ia tulis pada tahun 1847 ketika berusia 38 tahun.
Raja Ali Haji merupakan keturunan Bugis yang lahir di Pulau Penyengat, Riau, pada tahun 1809. Ia adalah putra dari Raja Haji Ahmad, pangeran Riau pertama yang pergi haji, dan ibunya Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor.
Dilansir dari halaman Kemendikbud, kakek Raja Ali Haji yakni Raja Haji Fisabilillah adalah salah satu pahlawan Melayu-Bugis ternama. Ia menjabat Yang Dipertuan Muda atau Perdana Menteri dalam Kesultanan Johor-Riau. Dia pula yang berhasil membuat Kesultanan Johor-Riau maju pesat sehingga jadi pusat perdagangan dan kebudayaan pada masanya.
Sejak masih anak-anak, Raja Ali Haji sering mengikuti perjalanan ayahnya untuk berdagang. Sehingga dengan pengalaman itu, ia tumbuh jadi pemuda berwawasan luas.
Raja Ali Haji mendapatkan pendidikan dasarnya daari lingkungan istana Kerajaan Riau di Pulau Penyengat. Ia dididik tokoh terkemuka yang datang dari berbagai daerah karena saat itu banyak ulama berdatangan untuk pengkajian ajaran Islam. Mereka datang untuk belajar dan mengajar.
Perjalanan Raja Ali Haji
Dilansir dari halaman Rajaalihaji, Raja Haji Ahmad berencana menunaikan ibadah Haji dan menuntut ilmu Fiqih dan bahasa bersama Raja Ali Haji yang berusia 13 tahun, dan saudaranya.
Namun sebelum itu pada 1822, Raja Ahmad dan rombongannya sempat lebih dulu ke tanah Jawa untuk berniaga, tepatnya ke Betawi.
Di tanah Jawa, Raja Ali Haji banyak menemui ulama untuk memperdalam pengetahuan keislamannya. Ia juga mendapat pengetahuan dari pergaulannya dengan sarjana-sarjana kebudayaan belanda.
Rombongan Raja Haji Ahmad pada saat itu menemui Gubernur Jenderal Hindia belanda Godart Alexander Gerald Philip Baron van der Capellen. Raja Ali Haji juga sempat mengunjungi ulama terkenal Betawi bernama Saiyid Abdur Rahman Al Mashri. Rekaman peristiwa di Betawi dituangkan dalam karya Raja Ali Haji berjudul Tuhfat al Nafis.
Lalu pada tahun 1826, Raja Ali Haji ikut rombingan ayahnya ke pesisir utara Pulau Jawa untuk berniaga demi menghasilkan dana untuk pergi haji. Menurut cerita, RAH sempat sakit dan bahkan dalam keadaan koma. Ayahnya mengira ia meninggal hingga membeli keranda, namun, akhirnya ia dapat sembuh.
Pada tahun 1828, rombongan kesultanan Riau-Lingga yang dipimpin Raja Haja Ahmad berrangkat haji. Mereka sampai di Jeddah pada tanggal 5 Maret 1828.
Selama berkelana di mekkah, Raja Ali Haji mendapat banyak ilmu serta mendapatkan gelar Raja Ali Haji.
Sekembalinya dari tanah suci, Raja Ali Haji pun menjadi ulama terkemuka di masanya. Ia menjadi tumpuan banyak orang yang menanyakan masalah keislaman.
Raja Ali Haji juga membimbing masyarakat dengan segala keahliannya di bidang agama, sastra, bahasa, sejarah, hukum, dan tata negara.
Raja Ali Haji dalam sastra dan politik
Sepulang menuntut ilmu di tanah Arab dan mempelajari banyak ilmu fiqih dan ilmu bahasa Arab. Raja Ali Haji dalam perjalanannya tidak berhenti mempelajari dan menulis buku.
Beberapa contoh karya Raja Ali Haji adalah Syair Abdul Muluk 1847, Gurindam Dua Belas 1847, Tuhfat Al-Nafis 1865.
Dalam dunia politik, Raja Ali Haji sudah diamanahi tugas-tugas kenegaraan penitng. Di usia 30 tahun, ia pernah mengikuti sepupunya Raja Ali bin Ja’far yang dipercaya jadi Yang Dipertuan Muda di Kesultanan Riau-Lingga. Raja Ali Haji dipercaya membantu pekerjaan saudaranya itu.
Ketika usia Raja Ali Haji mencapai 32 tahun, ia dipercaya memerintah wilayah Lingga mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah yang masih berumur sangat muda.
Raja Ali Haji juga pernah diangkat menjadi penasehat keagamaan kesultanan pada tahun 1845 ketika sepupunya Raja Ali bin Ja’far menjadi Yang DIpertuan Muda Riau VIII.
Meski dibebankan banyak tugas kenegaraan, Raja Ali Haji tetap menulis dengan produktif. Ia juga disebut sebagai salah satu penulis paling produktif pada masanya.
Dalam perjalanannya, Raja Ali Haji menciptakan sebuah buku bertajuk Kitab Pengetahuan Bahasa yang menjadi kamus ekabahasa Melayu pertama di Nusantara. Buku ini berisi tentang kamus Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga.
Selain itu, karya Raja Ali Haji yang tersohor adalah Gurindam Dua Belas. Karya tersebut adarah puisi Melayu lama dengan ciri khas kata-kata kiasan, istilah tasawuf, dan metafora.
Gurindam Dua Belas berisi 12 pasal berisi nasihat atau petunjuk hidup. Nasihat tersebut, antara lain terkait ibadah, kewajiban raja, kewajiban anak terhadap orangtua, tugas orangtua kepada anak, budi pekerti, dan hidup bermasyarakat.
Pahlawan Nasional dan cikal bakal Bahasa Indonesia
Raja Ali Haji wafat berkisar tahun 1872-1873 di Pulau Penyengat. Namanya telah dikenal luas sebagai Ulama, Sejarawan, Pujangga abad 19, dan Pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku pedoman bahasa.
Pada tanggal 10 November 2004, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Raja Ali Haji dalam peringatan Hari Pahlawan 10 November di Istana Merdeka.
Gelar itu diberikan karena buku karya Raja Ali Haji berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa (ditulis tahun 1851, dicetak di Singapura tahun 1925), ditetapkan dalam Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928 sebagai bahasa nasional (Bahasa Indonesia). Adapun, peristitwa pada tanggal tersebut dikenal dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda. (*)