ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
"Identitas politik harus melekat, jangan tinggalkan,” kata mas Bro mengawali obrolan warteg sambil maksi bersama sohibnya, Yudi dan Heri.
“Bro lo jangan bicara sembarangan. Politik identitas itu dilarang, lo malah menganjurkan,” kata Heri mengingatkan.
“Iya kita jangan ngomongin politik identitas, pusing kepala ,” tambah Yudi.
“Kalian ini bagaimana sih. Identitas politik itu harus kalian miliki agar tidak plin – plan, mencla – mencle. Ngalor ngidul nggak karuan,” kata mas Bro.
“Makud lo apa, jangan bikin emosi,” kata Yudi.
“Udah makan siang dulu biar lerem (istirahat sejenak menenangkan pikiran), ngobrolnya dilanjutkan nanti,” kata Ayu Bahari (pemilik warteg) menengahi.
Sejenak ketiga sohib itu makan dengan lahapnya dengan sayur lodeh dan tempe goreng kesukaannya.
“Oke, sekarang sudah selesai. Obrolan bisa dilanjut,” kata Yudi sambil meneguk minumannya.
“Saya kan tadi bilang identitas politik, bukan politik identitas. Beda makna dong. Setiap partai punya identitas, masing – masing berbeda, atau mirip – mirip. Ada yang berbasis nasionalis, dan agama,” kata mas Bro.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT