Fenomena ini menarik untuk mencermati. Politik itu tak ada kawan dan lawan abadi. Pelukan adalah sinyal. Sinyal siapa lawan dan siapa kawan.
Keberanian Partai Nasdem melawan arus kekuasaan memang memiliki konsekwensi logis dalam dinamika perpolitikan Indonesia. Sejatinya Nasdem bagian dari lingkar kekuasaan.
Selama Jokowi berkuasa, Nasdem pun kebagian kue. Namun di tengah-tengah menikmati santapan lezat kekuasan, Nasdem justru menelikung. Partai besutan Paloh itu mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal calon Presiden 2024.
Padahal jelas, Anies tak mungkin dapat dukungan Jokowi dan koalisi partai kekuasaan untuk maju nyapres.
Di tengah isu perpanjangan atau 3 periode Jokowi, pencalonan Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) 2024 oleh Partai NasDem tak hanya menimbulkan dinamika internal. Sejumlah kader Partai NasDem mundur karena pencapresan Anies Baswedan.
Dampak eksternalnya, Nasdem tak lagi bernilai di mata koalisi. Apalagi, Surya Paloh menyebut Anies Baswedan 'the best' ketika menyampaikan alasannya menunjuk mantan Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 sebagai capres.
Dengan demikian, calon lain dianggap tidak "The Best" bagi Nasdem. Di sisa-sisa kekuasaan Jokowi, Bisa saja Nasdem beranggapan bahwa "kue kekuasaan" Jokowi tak lagi lezat.
Dan yang pasti, penolakan Jokowi untuk berpelukan sebagai ekspresi bahwa Partai NasDem harus segera hengkang dari kekuasaan.