Oleh: Miftahur Rahman, Wartawan Poskota
Mendekati Pilpres 2024, semakin banyak bakal calon presiden (Bacapres) yang melakukan blusukan menemui rakyat. Caranya, beda-beda.
Ada Bacapres yang rela berjibaku dengan lumpur sawah, demi memikat petani. Ada juga yang beramis-amis ria dengan ikan, demi meraih hati nelayan. Mungkin, nanti juga bakal ada yang rela masuk gorong-gorong atau comberan, demi mengesankan diri dekat dengan rakyat.
Pendekatan blusukan yang dipopulerkan Joko Widodo (Jokowi) itu awalnya memang seperti magnit. Rakyat begitu terkesima terhadap Jokowi yang dinilai sangat merakyat.
Namun belakangan ini, pendekatan blusukan terkesan mulai kehilangan magnitnya. Sebagian rakyat sudah tidak lagi menilai pendekatan itu sebagai cermin merakyatnya sang pelaku. Pendekatan blusukan justru dinilai hanya bagian dari pencitraan semata.
Akibatnya, justru kontraproduktif. Sebagian masyarakat mulai antipati melihat Bacapres yang melakukan blusukan. Apalagi, bila terkesan dipaksakan. Mimik wajahnya tak dapat dipalsukan. Ketahuan sekali bahwa blusukannya adalah sekadar pencitraan.
Namun demikian, pendekatan blusukan masih bisa dapat mendongkrak popularitas dan elekrabilitas Bacapres selama dilakukan dengan hati. Hal itu juga hendaknya dilakukan secara terus menerus, tidak hanya saat mendekati Pilpres saja.
Karena sebenarnya, strategi kampanye terbaik adalah 'meet the people.' Karena hal itu bisa memberikan kesempatan pada calon pemimpin untuk berinteraksi langsung dengan rakyatnya.
Masalahnya, apakah Bacapres itu melakukan blusukan dengan hati nurani? Apakah tulus ikhlas? Masyarakat bisa menilai sendiri.
Perhatikan saja yang dilakukan oleh Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Erick Thohir, Puan Maharani, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, dan Airlangga Hartarto. (**)