PN Malang Eksekusi Pengosongan Rumah 2 Dokter Cantik dan Belasan Ruko Milik Pengacara Tanpa Ada Kepastian Hukum, Capim KPK: Itu Pengadilan Sesat!

Sabtu 27 Agu 2022, 13:59 WIB
JJ. Amstrong Sembiring, Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019 - 2023 saat beraudiensi dengan jajaran Pengadilan Negeri Malang pada Kamis (25/8/2022) terkait ricuhnya eksekusi dua rumah dokter cantik dan sejumlah ruko milik pengacara di Kota Malang.(ist)

JJ. Amstrong Sembiring, Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019 - 2023 saat beraudiensi dengan jajaran Pengadilan Negeri Malang pada Kamis (25/8/2022) terkait ricuhnya eksekusi dua rumah dokter cantik dan sejumlah ruko milik pengacara di Kota Malang.(ist)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Eksekusi pengosongan dua rumah milik dokter Gladys Adipranoto dan Gina Gratiana di Jl Pahlawan Trip, Klojen Kota Malang dan sejumlah ruko milik FM Valentina dinilai mantan Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 Amstrong Sembiring sesat.

Pelaksanaan eksekusi itu diduga sarat dengan permainan mafia peradilan dan mafia tanah.

Dia pun turun langsung dengan menemui pihak Pengadilan Negeri (PN) Malang untuk mengklarifikasi persoalan pelik dan kontroversial tersebut.

Amstrong ditemui seorang hakim sekaligus merangkap Humas di Pengadilan Negeri Malang Mohammad Indarto pada Kamis (25/8/2022).

Kepada Amstrong, Indarto menegaskan bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap rumah milik dua dokter cantik Gladys Adipranoto dan Gina Gratiana  yang sempat viral di sejumlah platform media sosial bertemakan "Mafia Tanah" beberapa bulan lalu berdasarkan delegasi dari PN Tuban.

Dia menjelaskan bahwa delegasi tersebut berupa produk hukum Putusan Peninjauan Kembali (PK) No 598 MA RI yang harus dilaksanakan PN Tuban.

Namun lantaran lokasi kasus (lokus) berada di Kota Malang, maka pelaksanaannya didelegasikan ke PN Malang.

Saat disinggung Amstrong bahwa PN Malang tidak menjalankan amar putusan sesuai yang didelegasikan PN Tuban dalam PK 598, akhirnya Indarto mengakui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap sejumlah rumah dan toko pada 21 - 26 Juli 2022 kemarin berdasarkan Penetapan No 14 Tahun 2022. 

"Ini berbeda saat kami mengkonfirmasi ke PN Tuban bahwa delegasi itu berupa amar putusan PK 598," jelas Amstrong di Jakarta, Sabtu (27/8/2022).

Amstrong menilai, Humas PN Malang yang juga bertugas sebagai hakim terkesan mencla mencle saat diajak diskusi terkait pelaksaan eksekusi yang merugikan tiga kliennya, yakni FM Valentina sebagai pemilik beberapa ruko dan klinik, serta Gladys dan Gina sebagai pemilik dua rumah di  Jl Pahlawan Trip Blok B 6 dan B7, Oro-oro Dowo, Klojen Kota Malang.

"Awal bilang bahwa eksekusi berdasarkan penetapan No 14 Tahun 2022, kemudian malah bilang hasil delegasi PN Tuban. Yang benar mana? Alas hukum yang dipakai apa? Jadi saya menilai eksekusi yang dilakukan PN Malang terhadap harta benda milik Valentina dan dua dokter Gladys dan Gina serampangan. Seenak udelnya dalam melaksanakan perintah Mahkamah Agung. Sedangkan pelaksanaan eksekusi harus ada kepastian hukum. Ini sesat," ujar Amstrong heran.

Poskota.Co.Id saat mengkonfirmasi persoalan di atas kepada juru bicara PN Malang Syafruddin beberapa waktu lalu menegaskan bahwa eksekusi pengosongan dua rumah milik dr Gladys dan Gina serta sejumlah ruko dan klinik milik FM Valentina berdasarkan permohonan lelang dan sudah ada penetapannya di No 14 Tahun 2022.

"Ada hak tanggungan, ada yang dijaminkan. Setelah kami cek, baik ke Panitera Muda atau SIPP tidak ada kaitannya dengan PK 598," kata Syafruddin.

Mengomentari pernyataan Syaruddin, Amstrong menilai bahwa terjadi sebuah anomali hukum. Padahal hukum itu butuh kepastian. 

"Perkara ini kan hasil delegasi dari PN Tuban berupa produk hukum PK 598 yang isinya bersifat declaratoir (deklarasi) dan ada condemnatoir (menghukum). Namun dalam diktum condemnatoirnya tak disebutkan obyek-obyek apa saja yang harus dibagi," paparnya.

Selain itu, lanjut Amstrong, kalau pun kemudian pihak penggugat sebagai pemenang mengajukan data-data obyek rumah dan ruko ke pengadilan sebagai obyek yang harus dibagi, penetapannya pun tidak ada. 

"Penggugat sudah almarhum. Ahli warisnya siapa? Penetapan pengadilannya mana? Penetapan obyek-obyek yang harus dibagi tidak kongkrit dalam putusan PK. Jadi ini jelas executable (tidak ada yang bisa dieksekusi). Saat diskusi ada seorang staf atau hakim yang mengatakan bahwa  eksekusi itu berdasarkan consideran (pertimbangan hukum). Nggak bisa! Nggak bisa dari pertimbangan hukum! Saya suruh baca buku pedoman dari Ditjen Badilum Mahkamah Agung dalam pelaksanaan eksekusi," cetusnya.

Amstrong menjelaskan bahwa amar putusan itu harus rinci, obyek apa saja yang harus dibagi. Di amar itu kan tidak ada obyek apa saja yang harus dibagi. Kalau tidak diuraikan secara detail menimbulkan dampak pada eksekusi yang telah dilakukan menjadi 'bias'. 

"Akhirnya hakim Indarto itu menjawab "Saya tidak mau berdebat. Saya tetap melaksanakan". Ya saya bilang kehadiran saya hanya berdiskusi. Akhirnya hakim Indarto itu mempersilakan saya untuk mengutarakan dalam surat (keberatan-keberatan eksekusi yang dilakukan pengadilan)," jelasnya.

Amstrong mengakui bahwa amar putusan PK 598 itu harus dihormati sebagai produk hukum, kendati dinilainya cacat. Tapi amar putusan itu tidak dilaksanakan dengan benar. 

"Ini saya melihat penterjemahan dalam putusan tersebut dilakukan PN Malang. Dengan kata lain, amar putusan tersebut tidak bisa dilaksanakan (executable), kalau itu dilaksanakan berarti ada oknum yang memaksakan untuk dilaksanakan putusan tersebut walaupun kontradiktif. Asosiasinya mafia pengadilan. Jadi kalau sudah terlaksana eksekusi. PN Malang pengadilan sesat!"  ujarnya kesal.

Hakim Syafruddin kepada Poskota.Co.Id bersedia menjelaskan bahwa dalam penerjemahan putusan sebuah PK (tapi dia tak menyebutkan No PK-nya). 

"Sepanjang para pihak mengakui bahwa permasalahan obyeknya A B C D. Ini yang dipermasalahkan para pihak akui,  kan itu ada pemeriksaan setempat. Kalau ini (harta A B C D) yang diakui dilaksanakan para pihak," terangnya.

Ketika disinggung di amar tidak ada putusan, Syafruddin menegaskan bahwa para pihak harus sepakat menunjukkan obyek-obyek yang disengketakannya. 

Syafruddin pun mengiyakan ketika obyek-obyek tersebut harus tercantum dalam amar putusan (PK).

"Jangan sampai salah eksekusi. Apalagi obyek yang bersertifikat kan. Itu dicantumkan dalam amar. Sertifikat A B C umpamanya. Jangan sampai saat eksekusi pengembalian kepada yang berhak, salah kembali. Ukuran satu meter saja menentukan eksekusi itu," tandasnya.

Berita Terkait
News Update