“Jika terjadi berbagai persoalan terkait persepsi tentang ketatanegaraan, berbagai problema kehidupan berbangsa dan bernegara, hendaknya konstitusi tetap menjadi ruang rujukan..” - Harmoko
Gempita warga merayakan Proklamasi Kemerdekaan sangat terasa hingga ke seluruh pelosok negeri. Berbagai acara digelar dengan melibatkan warga dari segala usia mulai balita, remaja, pemuda hingga lansia tanpa membedakan latar belakang ekonomi dan status sosial. Tanpa pula mengusik egoisme kesukuan, agama, ras dan antar-golongan. Yang tercipta adalah rasa persaudaraan dan persatuan.
Rasa ini hendaknya termanifestasi dalam kehidupan sehari – hari, tak hanya di bulan Agustus, tetapi sepanjang tahun, sepanjang masa guna semakin memperkuat jati diri NKRI yang berlandaskan kepada Pancasila sebagai falsafah bangsa dan UUD 1945, konstitusi negeri kita.
Maknanya konstitusi adalah jati diri bangsa yang keberadaannya tak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa. Sejarah mencatat, terdapat dua peristiwa penting di bulan Agustus 1945.
Pada 17 Agustus 1945 diproklamirkan Kemerdekaan RI oleh Soekarno –Mohammad Hatta, atas nama bangsa Indonesia, dari Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), Jakarta Pusat. Hari itu, bertepatan dengan Jumat legi, Indonesia resmi menjadi negara merdeka.
Pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menggelar sidang di gedung Cuo Sangi-In, Jl Pejambon (sekarang menjadi kompleks perkantoran Kementerian Luar Negeri).
Sidang pertama PPKI menghasilkan 2 keputusan penting, yakni:
Pertama, mengangkat Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.
Kedua, mengesahkan Undang Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara.
Pada perkembangannya, setiap tanggal 18 Agustus ditetapkan sebagai Hari Konstitusi sebagaimana Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008. Dapat diartikan bahwa konstitusi negara sangatlah penting bagi perjalanan bangsa ke depan untuk mencapai tujuan. Sebagai pedoman atau landasan hukum tertinggi bagi Kepala Negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Di sisi lain, konstitusi juga sebagai alat kontrol agar kekuasaan penyelenggara negara berjalan sesuai arah dan tujuan negara merdeka. Membatasi kekuasaan penyelenggara negara tidak sewenang- wenang, tidak semena - mena. Tidak merugikan rakyat karena di dalamnya diatur mengenai perlindungan hak – hak asasi manusia dan kebebasan rakyat, sekaligus sarana mengendalikan rakyat.
Dengan begitu dapat dirumuskan bahwa konstitusi yang dilahirkan para pendiri negeri ini telah cukup ideal memberi pondasi untuk keberlangsungan bangsa menyongsong era masa depan. Indonesia yang maju sejahtera, Indonesia yang adil dan makmur. Indonesia yang “tata tentrem kerta raharja” – suatu keadaan yang tertib, tentram, serta sejahtera, berkecukupan segala sesuatunya.
Menjadi renungan, sudahkah konstitusi dijalankan secara murni dan konsekuen, secara baik dan benar oleh penyelenggara negara dari tingkat pusat hingga pelosok negeri. Tanpa konstitusi, akan muncul kekuasaan tanpa batas, diktator dan otoriter yang dapat memunculkan kebijakan dengan mengatasnamakan rakyat, tetapi kenyataannya merugikan dan menyengsarakan rakyat.
“Demi rakyat” tiada henti menjadi slogan, tetapi yang diuntungkan kadang hanya sebagian orang, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Sementara konstitusi melindungi segenap bangsa. Negara melalui pemerintah pusat dan jajaranya wajib memberikan perlindungan dan pemenuhan hak –hak warga negaranya, apalagi di tengah situasi penuh ancaman dan tantangan.
Jaminan atas hak hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya bagi setiap warga negara seperti termaktub dalam pasal 28A UUD 1945, wajib dijalankan negara. Ini berarti menyangkut pemenuhan akan kebutuhan ekonomi, pendidikan maupun kesehatan.
Peringatan HUT ke 77 Kemerdekaan dan Hari Konstitusi tahun ini hendaknya menjadi momen evaluasi dan refleksi bagi penyelenggara negara dalam menjalankan amanat konstitusi.
Jika terdapat hambatan, terjadi berbagai persoalan terkait persepsi tentang ketatanegaraan, berbagai problema kehidupan berbangsa dan bernegara, hendaknya konstitusi tetap menjadi ruang rujukan, bukannya membangun konspirasi politik dengan memperkuat lobi –lobi oligarki.
“Pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat” sebagaimana logo HUT RI – ke 77, dapat seiring sejalan jika menjunjung tinggi semangat konstitusi. Ini semakin dituntut keteladanan pejabat negara untuk lebih memerankan fungsi, tugas dan tanggung jawabnya selaras dengan konstitusi. Dalam ucapan dan perbuatan, kapanpun dan dimanapun.
Konstitusi bukan sebatas slogan, tetapi perwujudan. (Azisoko)