JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Seorang driver taksi online berinisial H, babak belur dikeroyok massa karena menduga si sopir tersebut merupakan pelaku tindak kriminal (maling).
Berdasarkan pengakuan H, peristiwa pengeroyokan terhadapnya itu terjadi ketika ia tengah melintas di Jalan Haji Naman, Duren Sawit, Jakarta Timur pada Kamis (14/7/2022) malam.
Dia menyebut, saat tengah mengemudi, tiba-tiba ada pihak yang meneriakinya sebagai maling, sehingga membuatnya dikejar oleh sejumlah pemotor dan warga yang ada di sekitar lokasi.
Karena panik dikejar sejumlah massa itu pun, menyebabkan dirinya hilang kendali dan mengakibatkan sejumlah pengendara lain yang ada di sekitarnya tertabrak oleh mobil yang dikemudikannya hingga berujung pada terjadinya aksi pengeroyokan terhadapnya.
”Sejujurnya, saya disalip-salip. Saya bilang 'jangan, nanti nabrak, saya sudah tua'. Dia (pengendara motor) tidak terima, pas di tikungan saya disalip,” kata H kepada wartawan di Mapolsek Duren Sawit, Jumat (15/7/2022).
"Saya masuk mobil mau ke kantor polisi dan nyenggol-nyenggol (nabrak kendaraan dan warga). Bukan nabrak sengaja. Tapi, pas saya naik ke mobil mau ke kantor polisi. Saya diteriaki maling,” sambungnya.
Menanggapi hal tersebut, Sosiolog Musni Umar mengatakan turut prihatin akan peristiwa yang dialami oleh H.
"Pertama tentu saya turut prihatin akan peristiwa ini, karena tindakan main hakim sendiri tidak dapat dibenarkan dari segi apa pun," kata Musni saat dihubungi, Jum'at (15/7/2022) malam.
Dia berujar, bahwa aksi pengeroyokan yang dipicu oleh adanya provokasi ini, menandakan bahwa masyarakat Indonesia memang tengah mengalami yang namanya krisis verikasi informasi.
"Kenapa masyarakat kita saat ini sangat mudah terprovokasi. Menurut saya, adalah karena minimnya upaya masyarakat untuk memverifikasi lebih lanjut dari sumber persoalan yang terjadi," ujar Musni.
Kalau masyarakat mau untuk memverifikasi lebih lanjut apa yang menjadi sumber persoalan dari peristiwa ini, ucapnya, mungkin aksi main hakim sendiri ini tidak akan pernah terjadi.
"Pasti mereka akan menangkap, dan menyerahkannya kepada aparat Kepolisian, karena memang Kepolisian lah yang memiliki kewenangan dalam hal ini," papar dia.
Dia menambahkan, dalam kasus ini ada satu hal yang tak kalah penting, atau dengan kata lain menjadi asap sebelum api membesar.
"Yang jelas, yang menjadi penyebab dalam kasus ini yaitu, ialah penyematan kata 'maling'. Karena disebut maling, masyarakat langsung terprovokasi karena menganggap sang sopir tersebut adalah pelaku kriminal," imbuh dia.
Rektor Universtas Ibnu Chaldun (UIC) itu mengatakan, bahwa penyematan kata maling ini lah yang seharusnya menjadi atensi dari berbagai pihak.
"Harus ada edukasi dari aparat penegak hukum untuk tak selalu menggunakan diksi 'maling' ketika ada peristiwa serupa. Karena kalau hanya didiamkam, kejadian ini akan terus berulang dan mencari korban lain," katanya.
Namun, jelas Musni, yang juga tak kalah penting di dalam kasus ini, ialah terkait dengan keberanian masyarakay untuk dapat mengakui kesalahannya kepada korban dan aparat penegak hukum.
"Semoga masyarakat yang turut mengeroyok sopir taksi tersebut mau memberanikan diri dengan cara meminta maaf dan mengakui kesalahannya, itu bisa dilakukan juga dengan cara memberikan bantuan materiil dan sebagainya kepada sang sopir," tuturnya.
"Tapi, untuk provokator yang menyebut sopir ini sebagai maling, saya rasa ini harus ditindak tegas oleh polisi. Karena perbuatannya telah merugikan banyak pihak," tukasnya. (Adam).