“Para elite dan pemimpin hendaknya lebih pandai membaca tanda – tanda setiap gejala dan dinamika yang terus berubah, kadang tak terduga sebelumnya. Agar kebijakan menjadi tepat waktu dan sasaran serta bermanfaat” – Harmoko
Sejak dulu kala, nenek moyang kita telah mengajarkan agar senantiasa pandai membaca tanda – tanda alam disekitar kita, jika hidup ingin selamat, terhindar dari segala marabahaya. Ketika semua binatang turun dari puncak gunung, pertanda akan ada ancaman, sebut saja erupsi gunung berapi, yang membuat masyarakat sekitar segera bersiap diri mengantisipasi segala kemungkinan buruk terjadi.
Jika dicermati, konon, binatang tertentu mampu mengindera tanda – tanda akan terjadinya gempa bumi dan tsunami. Ular yang keluar dari sarang di tengah tidur panjang, karena merasakan adanya getaran gempa bumi.
Beberapa kelelawar yang lazimnya tidur sepanjang siang hari, tiba – tiba aktif setengah jam sebelum gelombang tsunami. Ribuan kelelawar besar terbang tinggi di angkasa Pulau Simeulue, Aceh, untuk bermigrasi ke tempat baru, pada Desember 2004, sebelum tsunami. Tanda ini yang ditangkap warga setempat sebagai sebuah tradisi, sehingga pada tsunami kala itu, hanya 7 orang yang meninggal dari ribuan korban lainnya, padahal tempatnya paling dekat dengan pusat gempa.
Cerita dari Sri Lanka dan Thailand, misalnya gajah – gajah berlarian ke bukit satu jam sebelum tsunami tahun 2004 yang menelan korban hingga 150 ribu orang di kedua negara tersebut.
Sebelum ada teknologi canggih, nenek moyang kita bercocok tanam berdasarkan pranata mangsa, di antaranya dengan membaca bintang. Ini bentuk kearifan lokal dalam membaca cuaca.
Yang hendak saya sampaikan adalah ilmu “titen” – bentuk kehati – hatian dengan memperhatikan tanda – tanda alam telah diajarkan para leluhur dalam mengantisipasi keadaan, guna meminimalisir dampak bencana.
Ini mengajarkan agar kita mampu mencermati situasi yang bakal terjadi, pandai membaca tanda – tanda akan adanya ancaman. Apakah ancaman krisis pangan, energi dan keuangan seperti diisyaratkan dunia, ataukah sikap dan tindakan yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan negeri kita. Di era sekarang semakin dituntut “pandai membaca keadaan”. Itulah yang dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Di era pandemi, mampu membaca tanda – tanda terkait angka penularan Covid-19 secara regional, nasional dan lingkungan sekitar kita. Termasuk membaca tanda- tanda adanya gejala yang menimpa diri kita.
Merasa diri kita kuat, masyarakat kita kebal virus, negara kita kuat menghadapi tantangan, sehingga tidak perlu sangat dikhawatirkan seperti sikap di awal pandemi, boleh jadi, karena kurang pandai membaca tanda – tanda, padahal dunia sudah berulang kali mengingatkannya.
Kebijakan yang silih berganti, bisa menjadi indikasi. Kebijakan lepas masker dan kembali memakai masker, pertanda pandemi masih menjadi ancaman. Belum lagi dampak perekonomian yang bakal terjadi, menyusul ketidakpastian situasi global. Ancaman semakin meluas dan kompleks, tak hanya di bidang perekonomian, juga kian memanasnya situasi politik di dalam negeri membangun sekat antar kelompok dan pendukung turut memperlebar sekat kelompok “pro” dan “kontra”.
Label “cebong” dan “kadrun” sepertinya makin dikemas sedemikian rupa, jauh dari etika, yang berujung semakin membuka peluang perselisihan dan perpecahan, tak hanya di dunia maya, juga alam nyata. Kondisi kian berlarut, aksi nyata menghentikannya, masih jauh dari harapan. Jika tidak disebut adanya kesan pembiaran. Manuver politik, membangun pencitraan dan kebencian tidak terhindarkan, tetapi membaca tanda – tanda dinamika, arah dan tujuan, jangan terabaikan.
Dengan pandai membaca tanda – tanda diharapkan dapat menentukan waktu yang tepat kapan harus bersikap dan apa yang harus disikapi. Kapan harus berpikir, berbicara dan diam memperhatikan. Dapat menentukan waktu dan tindakan yang tepat dan bermanfaat.
Bagi para pemimpin, elit politik dan pemerintahan, hendaknya lebih pandai membaca tanda – tanda setiap gejala dan dinamika yang terus berubah, kadang tak terduga sebelumnya. Ini semua untuk mengeluarkan kebijakan tepat sasaran dan bermanfaat bagi semua khalayak, bukan sebagian atau sedikit khalayak. Bukan juga untuk mendukung anggota keluarga dengan menjanjikan minyak goreng gratis yang ramai belakangan ini
Dampak buruk kebijakan harus dikritisi sebagai bentuk koreksi, tapi bukan mengadili. Jangan pula tergiur ikutan mengkritisi hanya karena tak ingin disebut tidak sehati dengan mereka yang mengkritisi, sementara dirinya tidak tahu persis apa yang dikritisi. Sebaliknya jangan membabi buta menyerang mereka yang mengkritisi, sementara tidak tidak tahu pasti mengapa diserang, kenapa harus diserang.
Pitutur luhur mengajarkan kita perlu "setiti, nastiti ngati – ati” –dapat dimaknai melakukan suatu pekerjaan perlu teliti dan cermat, mengeluarkan kebijakan penuh dengan segala perimbangan, tidak asal karena desakan koleganya, kepentingan bisnis semata. Intinya perlu kehati-hatian dalam menyikapi setiap keadaan. Itulah sebabnya perlunya pandai membaca tanda – tanda. ( Azisoko )