Oleh: Trias Haprimita A, Wartawan Poskota
TAGAR ‘Aksi Cepat Tilep’ dan ‘Jangan Percaya ACT’ trending di media sosial Twitter sejak Minggu (3/7/2022) malam. Netizen ramai-ramai mengunggah pemberitaan dari salah satu media nasional yang membongkar adanya dugaan penyelewengan anggaran di lembaga Aksi Cepat Tanggap yang bergerak aktif menghimpun dana umat tersebut.
Tak segan-segan, netizen juga mendesak Polri, Kemenkumham dan Kemendagri untuk turun tangan mengungkap dugaan penyalahgunaan dana oleh ACT.
Respons netizen itu tentu bukan tanpa alasan, pasalnya Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dirundung sejumlah masalah. Mulai dari dugaan mengakomodir kegiatan LSM teroris dengan mengirim dana, penyelewengan anggaran oleh para petinggi, pemotongan donasi, hingga kampanye yang dinilai berlebihan.
Berdasarkan data dan informasi yang dihimpun, hal mencolok yang dinilai ganjal ialah para bos-bos ACT mendapat gaji yang fantastis hingga ratusan juta rupiah untuk memenuhi gaya hidup. Di antaranya CEO yayasan ACT digaji hingga Rp250 juta per bulan, gaji Senior Vice President mencapai Rp200 juta per bulan, Direktur Eksekutif Rp50 juta ditambah kendaraan dinas jenis Toyota Alphard, CR-V dan Pajero Sport.
Mencuatnya masalah demi masalah yang terjadi dalam internal ACT ini memicu kemarahan publik. Banyak dari mereka yang merupakan donatur tetap maupun yang pernah berdonasi ke ACT merasa kesal dan tertipu dengan pemberitaan yang mengungkap adanya penyelewengan dana umat tersebut.
Nama ACT banyak dikenal sebagai salah satu organisasi nirlaba profesional yang berfokus pada kerja-kerja kemanusiaan mulai dari penanggulangan bencana, membantu korban perang, mendukung kegiatan keagamaan serta program sosial lainnya.
Diketahui, pendanaan yang didapat ACT berasal dari beberapa sumber di antaranya sokongan pihak perusahaan melalui program kemitraan dan Corporate Social Responsibility (CSR) dan juga terbesar dari pihak donatur publik yakni masyarakat dengan kepedulian tinggi terhadap masalah sosial kemanusiaan.
Seolah tak puas dengan kegiatan berskala lokal, ACT mengembangkan jejaring pada skala global dengan program-program bantuan bencana alam, kelaparan dan kekeringan, konflik dan peperangan, termasuk penindasan terhadap kelompok minoritas dan isu agama yang kini sudah sampai ke 22 Negara di kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, Indocina, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa Timur.
Salah satu kasus kontroversial terbaru yang juga menjadi sorotan khalayak ialah ACT mengklaim membangun musala pertama di Australia. Padahal faktanya, musala sudah banyak tersebar di berbagai wilayah di negara Kanguru tersebut. Sehingga netizen pun menyebut ACT menyebarkan berita bohong serta melebih-lebihkan.
Kasus penyelewengan dana umat yang diduga dilakukan ACT ini agaknya bisa menjadi refleksi bagi seluruh masyarakat agar tak mudah termakan iming-iming ‘jual agama’ demi kepentingan tertentu. Sudah semestinya stakeholder terkait juga harus mulai memperhatikan dan membuat regulasi resmi yang mengatur pengelolaan dana pada lembaga filantropi di Indonesia. (*)